Mohon tunggu...
Neno Anderias Salukh
Neno Anderias Salukh Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pegiat Budaya | Pekerja Sosial | Pengawas Pemilu

Orang biasa yang menulis hal-hal biasa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Makna Sindiran Erick Thohir Terkait Impor Bahan Baku Farmasi

17 April 2020   08:43 Diperbarui: 17 April 2020   08:48 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Erick Thohir (kiri) meninjau ruangan Command Center Corona yang ada di Rumah Sakit Pertamina Jaya (ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT)

Untuk menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia membutuhkan alat-alat kesehatan dan bahan baku farmasi untuk digunakan dalam pengobatan dan pemulihan pasien Covid-19.

Sebagian besar alat-alat kesehatan seperti Rapid tes, APD dan sebagainya termasuk bahan baku farmasi didapatkan dari negara lain atau hasil impor.

Dilansir dari Bisnis.com, data Kemenkes menunjukkan bahwa investasi di bidang kesehatan terus meningkat. Pada 2017, nilainya mencapai Rp53,76 triliun, pada 2018 mencapai Rp53,95 triliun, dan sepanjang 1 Januari---10 Oktober 2019 menembus Rp60,9 triliun.

Sebagian besar berasal dari impor bahan baku farmasi. Salah satu publikasi yang dikeluarkan oleh Balitbang Kemenkes RI yang membahas tentang Obat Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Kebijakan, Harga, dan Produksi Obat menunjukkan bahwa pada tahun 2018, 96 persen bahan baku obat-obatan Indonesia masih didatangkan dari luar negeri atau merupakan produk impor.

Rupanya, data impor bahan baku farmasi di Indonesia sejak 2016 hingga 2019 tidak pernah kurang dari 90 persen. Tentunya, impor yang sangat besar ini membutuhkan biaya yang cukup banyak.

Belum lagi, bahan baku farmasi yang diimpor seperti sediaan herbal, garam farmasi, golongan sefalosporin, amlodipin, kadar glukosa farmasi (untuk infus), amoksilin, glimepirid / metformin ,parasetamol , produk biologis, dan vaksin sangat rentan terhadap kenaikan dolar sehingga mempengaruhi biaya impor.

Bagi Menteri BUMN Erick Thohir, Angka impor bahan baku farmasi yang tak kunjung menurun ini adalah sebuah ironi. Menteri Erick seakan tidak percaya dengan potensi negara Indonesia yang seharusnya tidak perlu mendatang bahan baku farmasi dari luar negeri.

"Mohon maaf kalau saya bicara ini, sangat menyedihkan kalau negara sebesar Indonesia ini, 90 persen bahan baku dari luar negeri untuk industri obat. Sama juga alat kesehatan, mayoritas dari luar negeri," ujar Erick usai meninjau RS Pertamina Jaya, Kamis (16/4/2020).

Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang bisa dijadikan sebagai bahan baku farmasi. Lagipula, sejak zaman Majapahit, Indonesia sudah terkenal dengan obat-obatan tradisional yang seharusnya menjadi instrumen pemerintah untuk memproduksi bahan baku farmasi sendiri atau setidaknya mengurangi ketergantungan yang cukup tinggi tersebut.

Karena itu, bagi Erick Thohir, impor bahan baku farmasi yang terus-menerus dilakukan didominasi oleh mafia-mafia dan trader-trader yang mengutamakan uang untuk kepentingan pribadi daripada memikirkan kepentingan masyarakat Indonesia.

"Saya mohon maaf kalau menyinggung beberapa pihak. Janganlah negara kita yang besar ini selalu terjebak praktik-praktik yang kotor, sehingga alat kesehatan mesti impor, bahan baku mesti impor," kata Erick.

Mereka mengeruk keuntungan di tengah penderitaan orang lain. Covid-19 yang merupakan bencana nasional seharusnya menjadi agenda penting untuk diselesaikan malah dimanfaatkan demi hasrat mereka yang membabi-buta.

Mafia impor di Indonesia bukan hal yang baru. Menteri Pertanian periode 2014-2019 Amran Sulaiman pernah mengungkap pekerjaan mafia pangan selama kepemimpinannya di Kementerian Pertanian.

Kasus mafia pangan yang telah ditangani Tim Satgas Polri selama ia menjabat sebanyak 784 kasus yang terdiri dari 22 kasus hortikultura, 13 kasus pupuk, 27 kasus ternak, 66 kasus beras dan beberapa kasus lainnya dengan tersangka sebanyak 411 orang.

Mafia impor migas juga tak kalah saing bahkan disebut lebih mengerikan. Fahmy Radhi, salah satu anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang pernah dibentuk Presiden Jokowi pada periode 2014-2015 yang lalu mengungkap mafia migas yang terjadi.

Mereka menemukan bahwa para mafia pemburu rente impor minyak tersebut memperoleh US$ 2-3 barel per hari. Hal inilah yang menyebabkan pembangunan kilang minyak masih sebatas mimpi.

Para mafia impor bekerja dengan cara yang aneh. Mereka ngotot mengimpor barang-barang yang sejatinya bisa diperoleh dalam negeri. Misalnya skandal impor pacul yang sempat menggegerkan publik.

Intinya bahwa para mafia bekerja seolah-olah negara tidak mampu melakukan sesuatu padahal sejatinya kebutuhan impor tak sebesar yang didatangkan.

Oleh karena itu, sindiran Erick Thohir bahwa ada mafia impor alat kesehatan dan bahan baku farmasi mengindikasikan bahwa sejatinya masih ada praktek-praktek buruk di tengah usaha negara memerangi pandemi Covid-19.

Salam!!!

Referensi: Satu; Dua; Tiga; Empat;

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun