Untuk menghadapi pandemi Covid-19, Indonesia membutuhkan alat-alat kesehatan dan bahan baku farmasi untuk digunakan dalam pengobatan dan pemulihan pasien Covid-19.
Sebagian besar alat-alat kesehatan seperti Rapid tes, APD dan sebagainya termasuk bahan baku farmasi didapatkan dari negara lain atau hasil impor.
Dilansir dari Bisnis.com, data Kemenkes menunjukkan bahwa investasi di bidang kesehatan terus meningkat. Pada 2017, nilainya mencapai Rp53,76 triliun, pada 2018 mencapai Rp53,95 triliun, dan sepanjang 1 Januari---10 Oktober 2019 menembus Rp60,9 triliun.
Sebagian besar berasal dari impor bahan baku farmasi. Salah satu publikasi yang dikeluarkan oleh Balitbang Kemenkes RI yang membahas tentang Obat Era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN): Kebijakan, Harga, dan Produksi Obat menunjukkan bahwa pada tahun 2018, 96 persen bahan baku obat-obatan Indonesia masih didatangkan dari luar negeri atau merupakan produk impor.
Rupanya, data impor bahan baku farmasi di Indonesia sejak 2016 hingga 2019 tidak pernah kurang dari 90 persen. Tentunya, impor yang sangat besar ini membutuhkan biaya yang cukup banyak.
Belum lagi, bahan baku farmasi yang diimpor seperti sediaan herbal, garam farmasi, golongan sefalosporin, amlodipin, kadar glukosa farmasi (untuk infus), amoksilin, glimepirid / metformin ,parasetamol , produk biologis, dan vaksin sangat rentan terhadap kenaikan dolar sehingga mempengaruhi biaya impor.
Bagi Menteri BUMN Erick Thohir, Angka impor bahan baku farmasi yang tak kunjung menurun ini adalah sebuah ironi. Menteri Erick seakan tidak percaya dengan potensi negara Indonesia yang seharusnya tidak perlu mendatang bahan baku farmasi dari luar negeri.
"Mohon maaf kalau saya bicara ini, sangat menyedihkan kalau negara sebesar Indonesia ini, 90 persen bahan baku dari luar negeri untuk industri obat. Sama juga alat kesehatan, mayoritas dari luar negeri," ujar Erick usai meninjau RS Pertamina Jaya, Kamis (16/4/2020).
Indonesia kaya dengan sumber daya alam yang bisa dijadikan sebagai bahan baku farmasi. Lagipula, sejak zaman Majapahit, Indonesia sudah terkenal dengan obat-obatan tradisional yang seharusnya menjadi instrumen pemerintah untuk memproduksi bahan baku farmasi sendiri atau setidaknya mengurangi ketergantungan yang cukup tinggi tersebut.
Karena itu, bagi Erick Thohir, impor bahan baku farmasi yang terus-menerus dilakukan didominasi oleh mafia-mafia dan trader-trader yang mengutamakan uang untuk kepentingan pribadi daripada memikirkan kepentingan masyarakat Indonesia.