Pernyataan juru bicara presiden Fadjroel Rachman terkait mudik Lebaran di tengah wabah virus corona (Covid-19) menuai kritik keras dari publik lantaran menyampaikan informasi yang berbeda dengan rencana pemerintah.
Fadjroel mengatakan bahwa pemerintah akan mengizinkan mudik tahun ini dengan syarat pemudik ditetapkan sebagai Orang Dalam Pemantauan (ODP). Pernyataan Fadjroel merujuk pada pernyataan presiden Jokowi bahwa pemudik yang pulang dari Jabodetabek bisa diberlakukan sebagai ODP sehingga harus melaksanakan isolasi mandiri.
Sementara itu, pernyataan Mensesneg Pratikno dengan pernyataan Menko Bidang Kemaritiman Luhut Panjaitan sedikit berbeda bahwa pemerintah tidak melarang mudik tetapi berupaya sebaik mungkin untuk mengajak masyarakat tak mudik lebaran.
Pernyataan Pratikno dan Menko Luhut merujuk pada Keputusan Presiden tentang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Artinya, mudik tidak dianjurkan atau lebih baik ditiadakan mengingat banyak masyarakat yang berasal dari daerah-daerah terinfeksi bisa menjadi carier ke wilayah-wilayah yang belum terinfeksi.
Komunikasi publik semacam ini akan menimbulkan skeptisisme dari masyarakat terkait dengan upaya pemerintah menangani virus corona. Sejauh mana strategi yang disiapkan pemerintah Indonesia untuk menangani virus corona?
Bukan tidak mungkin, ada kesan publik bahwa belum ada strategi penanganan yang serius dari pemerintah. Seharusnya, jika sudah ada strategi matang  dan kerjasama yang baik di kubu pemerintah maka komunikasi publik tidak sehancur ini.
Selain itu, komunikasi semacam ini akan memuluskan arus informasi negatif seperti hoaks dan teori konspirasi yang bisa menyesatkan masyarakat dalam upaya penanganan virus corona. Berbeda jika komunikasi publik cukup baik dan efektif, arus hoaks dan teori konspirasi yang menyesatkan itu akan bisa dibendung.
Komunikasi semacam ini mengingatkan penulis pada kejadian awal 2016, di mana Yuddy Chrisnandi sebagai MenPANRB merilis kinerja akuntabilitas kementerian dan lembaga-lembaga negara yang dinilai telah menimbulkan kegaduhan politik di kabinet lantaran memberikan nilai rendah kepada sejumlah lembaga dan kementerian.
Momen ini membuat Jokowi geram kepada semua pembantunya dan mengungkapkan kekecewaannya tentang komunikasi publik yang kurang baik dan kurang efektif. Berulang kali dalam rapat kabinet, komunikasi publik merupakan agenda utama Jokowi yang ditegaskan kepada anak buahnya.
Hal Ini menunjukkan betapa pentingnya komunikasi publik yang disadari oleh Jokowi dalam upaya pembangunan sebuah bangsa. Bahwa, komunikasi publik yang tidak baik dan tidak efektif bisa menjadi senjata untuk membunuh kembali pemerintah karena kinerja pemerintah tertutup oleh arus informasi negatif dan menuai kritik dari oposisi dan publik.
Kesalahan masa lalu ini berlanjut dalam penanganan Covid-19. Publik bingung dengan informasi yang disampaikan oleh pemerintah. Siapa yang harus dipercayai? Ini lebih berbahaya dibandingkan dengan kesalahan komunikasi publik masa lalu karena berurusan dengan nyawa manusia.