Jika kehadiran Koalisi dalam kabinet tidak memberikan dampak positif terhadap kinerja pemerintah, untuk apa dipertahankan?
Dilansir dari kompas.com, lembaga survei Alvara Research Center merilis 10 menteri dengan kinerja paling memuaskan dalam kurun waktu 100 hari kerja pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Dalam daftar tersebut, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN menempati peringkat pertama sebagai menteri dengan kinerja yang paling memuaskan. Diikuti dengan Mendikbud Nadiem Makarim dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono , Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Riset dan Teknologi Bambang Brodjonegoro, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Wishnutama Kusubandio dan Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menyusul.
Uniknya, diantara 10 menteri tersebut, semuanya berasal dari kalangan profesional kecuali Prabowo Subianto dari kalangan Partai Politik (Parpol) Gerindra.
Survei Alvara membuktikan bahwa menteri dari kalangan profesional bekerja lebih baik daripada menteri dari kalangan partai. Benar-benar mereka memberi diri mereka sepenuhnya untuk bekerja dalam Kabinet Indonesia Maju. Publik pun puas dengan hasil gebrakan mereka dalam waktu 100 hari pertama.
Alvara pun membuka tabir lain bahwa menteri dari kalangan parpol bekerja kurang efektif. Bukti bahwa ada dualisme loyalitas sehingga mempengaruhi kinerja mereka. Antara loyalitas kepada presiden dan loyalitas kepada pemimpin partai membuat mereka kehilangan fokus.
Padahal fokus sangat penting dalam sebuah pekerjaan. Ibarat titik api yang diperoleh dari lup, titik fokusnya akan menghasilkan api jika fokusnya tidak digerakkan ke arah yang lain. Â
Ironis memang. Koalisi yang seharusnya memberikan dampak positif bagi pembangunan malah memberi kontribusi paling sedikit dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kalangan profesional.
Lalu, bagaimana dengan Prabowo Subianto yang notabenenya bukan kalangan profesional tetapi menduduki peringkat daftar 10 menteri dengan kinerja paling baik.
Jika kita berasumsi bahwa Prabowo Subianto sebagai petinggi partai Gerindra yang tidak membutuhkan loyalitas kepada pemimpin partai maka saya pikir kita perlu sandingkan dengan Airlangga Hartarto sebagai Ketum Golkar tetapi tidak masuk dalam daftar tersebut. Asumsi ini dibuang.
Karena itu, kita perlu menggarisbawahi status Prabowo Subianto dalam Kabinet Indonesia Maju. Prabowo Subianto merupakan menteri dari kalangan parpol tetapi bukan partai koalisi.
Memang, keputusannya bergabung dengan pemerintahan Jokowi disebut menambah amunisi koalisi. Akan tetapi, bagi penulis, status Partai Gerindra adalah koalisi abu-abu dan juga oposisi abu-abu.
Artinya, status partai tidak jelas. Prabowo Subianto dan Edy Prabowo bisa menjadi oposisi murni jika kemudian hari mereka terbukti tidak memberikan dampak positif terhadap kinerja pemerintah dan sebaliknya akan menjadi partai koalisi murni jika mereka bertahan dalam kabinet hingga akhir periode.
Ketidakjelasan Partai Gerindra ini terbukti dari anak-anak buah Prabowo masih konsisten mengkritik pemerintah dan beberapa kader partai PDIP yang tidak puas dengan keputusan Prabowo bergabung dengan pemerintahan.
Dalam acara Mata Najwa, pasca keputusan Prabowo Subianto bergabung dengan pemerintah, politisi PDIP Adyan Napitupulu menuntut Prabowo Subianto bekerja ekstra dan harus siap diresufle jika tidak mampu bekerja dengan baik.
Disisi lain, keputusan Prabowo Subianto bergabung dengan pemerintah mengundang cibiran dari berbagai pihak sehingga wajar bahwa dalam implementasi kinerja, Prabowo Subianto masuk dalam jajaran menteri terbaik.
Arti dari semua penjelasan ini adalah kasus Prabowo Subianto sebagai satu-satunya menteri dari kalangan Parpol yang menunjukkan kinerja terbaik merupakan kasus khusus. Banyak faktor yang mempengaruhi.
Berbeda dengan yang lain. Kalangan profesional loyal kepada presiden sedangkan kalangan parpol loyal kepada presiden dan juga partai politik mereka.
Kalangan Parpol Diresufle
Melalui media yang sama, kompas.com, lembaga survei Alvara Research Center juga merilis hasil survei kepuasan publik terhadap seratus hari kerja Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Hasil survei yang diperoleh sebesar 69,4 persen puas dengan kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.
Tentunya, angka 69,4 persen membuktikan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia puas dengan kinerja pemerintah. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Jokowi-JK, angka tersebut menurun dari 77,2 persen. Artinya, pemerintah kehilangan 8 persen kepercayaan dalam jangka waktu 100 hari.
Tentunya, menurunnya kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya, penegakan hukum, pemberantasan korupsi dan beberapa hal lainnya. Akan tetapi, tidak dapat dipungkiri jika kinerja para menterinya berpengaruh pada kepuasan publik.
Oleh karena itu, ditengah menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi. Para menteri dalam Kabinet Indonesia Maju harusnya unjuk gigi dalam mengimplementasikan program-program Jokowi.
Jokowi harusnya peka dengan kondisi ini. Resufle kabinet adalah salah satu kesempatan emas bagi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf untuk menyegarkan kinerja pemerintah, menggeser orang-orang yang tidak bekerja dengan efektif dan menaikkan kembali kepercayaan publik.
Menteri dari kalangan profesional harus diperbanyak. Jika boleh kabinet Zaken yang selama ini dirindukan publik sehingga kinerja dari para menteri anggota kabinet benar-benar maksimal.
Tidak salah. Dalam waktu 100 hari ini, Jokowi melakukan reshuffle kabinet dengan memperbanyak menteri dari kalangan profesional. Demi kepentingan bangsa dan negara, hal tersebut harus dilakukan.
Salam!!!
Neno Anderias Salukh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H