Staf Khusus Kepresidenan akan digaji sebesar 51 juta rupiah. Hal tersebut menuai bullying dari media dan netizen tapi sayangnya tidak ada yang mengerti latar belakang salah satu Stafsus yang bernama Billy Mambrasar.
Ia, pria asal Serui, Kepulauan Yapen, Papua memiliki masa lalu kehidupan keluarga yang sangat kelam. Keluarga mereka adalah keluarga yang sangat miskin. Meski ayahnya merupakan seorang guru, ayahnya hanyalah sebatas guru honorer hingga usia tuanya.
Kita tahu, guru honorer di desa itu seperti apa. Gaji yang minim dan diperoleh dalam durasi waktu tiga bulan sekali. Bahkan, ada kondisi dimana ayahnya tidak menerima upah.
Karena itu, berjualan kue merupakan modal utama mereka mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ibunya berjualan di pasar sedangkan Billy berjualan di sekolahnya. Begitu pulang sekolah, Billy menggantikan ibunya di pasar. Itulah pekerjaan mereka setiap hari ketika ia masih mengenyam pendidikan dasar dan menengah di tanah Papua.
"Subuh ibu bikin kue, paginya ibu pergi ke pasar jualan, kami ke sekolah sambil bawa kue untuk dijual," ujar Billy.
Disisi lain, mereka tinggal dibawah sebuah gubuk beratapkan daun sagu, berdinding gabah-gabah dan berlantaikan tanah. Meskipun demikian, dibawah penerangan lampu pelita, Billy terus berjuang dengan belajar lebih giat untuk menggapai cita-citanya kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Orang tua Billy sempat menolak rencananya untuk berkuliah di luar Papua karena bagi seorang penjual kue sangatlah sulit. Meski demikian, kehidupan Billy dan keluarga yang penuh perjuangan menjadikan Billy sebagai orang yang tidak mudah menyerah dengan keadaan.
Karena tekadnya yang begitu kuat, orang tuanya berjuang agar ia berhasil mendaftar S1 di ITB saja. Orang tuanya masuk keluar rumah, masuk keluar dinas meminta sejumlah uang secara sukarela untuk membantu anaknya mendaftar di ITB karena jika meminjam, mereka tidak mampu untuk mengembalikannya. Sukacita tersendiri bagi Billy karena budaya orang Papua yang penuh kasih tidak tanggung-tanggung memberi uang untuk membantu Billy bersekolah.
"Karena saya penjual kue, saya terbiasa tidak mudah menyerah dan membulatkan tekad kuliah ke Jawa. Saya ingin kuliah di ITB, kampus teknik terbaik. Melihat tekad saya, orang tua kemudian berkeliling minta bantuan, mengetuk pintu dinas satu ke dinas lainnya untuk minta bantuan dana," kenang Billy.
Sedihnya, uang tersebut hanya cukup untuk dirinya mendaftar, ia ditugaskan untuk mencari jalan sendiri dalam membiayai kebutuhan selanjutnya.
Di Bandung, naluri Billy sebagai seorang penjual kue tidak hilang. Ia kembali berjualan kue dan karena ia memiliki suara yang cukup bagus, ia mengamen maupun menyanyi di kafe dan pernikahan untuk mendapatkan tambahan uang makan dan biaya hidup. Bahkan ia pernah mengikuti audisi Indonesian Idol.