Surya Paloh kelihatannya cenderung memainkan Budaya Politik Patronage yang mana lebih memilih mencari dukungan dari atas daripada menggali dukungn dari basisnya. Apa maksudnya?Â
Sikap politik Partai NasDem akhir-akhir ini mendapat perhatian publik. Pasalnya, NasDem yang berjuang untuk memenangkan Jokowi selama dua periode memberikan sinyal bahwa sewaktu-waktu mereka akan menjadi oposisi meski tiga kader Nasdem saat ini menjabat sebagai menteri.
"Bukan masalah ada kemungkinan akan berhadapan dengan pemerintah atau tidak. Seluruh kemungkinan kan ada saja. Saya kira ada (kemungkinan), kita tak tahu itu kapan. Tapi probability, teori kemungkinan itu, semuanya harus dilakoni dengan pikiran yang sehat dan baik,"Â ujar Paloh saat memberikan keterangan seusai bertemu Presiden PKS Sohibul Iman di kantor DPP PKS, Jakarta Selatan, Rabu (30/10/2019).
Alasan menjadi oposisi bukan tak masuk akal, Nasdem menilai kejombloan PKS di kubu oposisi dapat mengakibatkan ketidakseimbangan dalam pemerintahan Jokowi. Gerindra yang seharusnya menjadi oposisi utama memilih bergabung dengan pemerintah pun menjadi kekuatiran tersendiri, pemerintahan Jokowi terancam otoriter karena porsi oposisi yang tidak mampu mengimbangi kekuatan koalisi pemerintah.
Namun, disisi lain banyak yang menilai sikap politik Nasdem sebagai langkah politik untuk pemilu 2024 termasuk Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun.
"Sebab jika performa politik pemerintahan Jokowi-Ma'ruf buruk, maka secara politik yang cenderung akan mendapat insentif elektoral yang melimpah adalah partai oposisi yang kebetulan image-nya saat ini ada pada PKS,"Â ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (31/10/2019).
Ya, Partai yang dipimpin oleh Surya Paloh ini mengalami tren peningkatan pendukung positif. Pada tahun 2014, Nasdem memperoleh 36 kursi, kini Pemilu 2019 memperoleh 59 kursi.
Oleh karena itu, langkah Nasdem menuju kursi oposisi untuk mempertahankan dan meningkatkan perolehan kursi pada tahun 2024.
Memang langkah politik Nasdem ini membawa keuntungan tersendiri. Nasdem benar-benar membaca situasi dan keinginan publik. Situasi saat ini, Jokowi dituntut oleh sebagian besar masyarakat Indonesia khususnya revisi UU KPK, pelanggaran HAM yang hanya tinggal janji dan juga masalah Papua.
Keinginan publik juga termasuk Gerindra yang seharusnya menjadi oposisi tidak boleh diizinkan untuk masuk dalam koalisi pemerintah. Pemerintah yang otoriter tidak memiliki oposisi dan inilah saatnya kita kembali pada zaman orde baru bahkan ada yang menyebutnya sebagai Neo-Orba.