Peristiwa yang melibatkan sejumlah ormas dan mahasiswa dan masyarakat Papua seharusnya tidak boleh terjadi.
Dugaan perusakan bendera oleh mahasiswa Papua menuai kerusuhan. Beberapa ormas mengepung asrama mahasiswa Papua di Surabaya karena tidak menerima kenyataan tersebut.
Pengepungan asrama mahasiswa Papua disertai makian dengan kata-kata rasis. Asrama dilempari dengan batu sehingga seluruh mahasiswa Papua terkurung dalam aula.
"Kami terkurung di aula. Ormas, tentara, dan Satpol PP masih di luar pagar, belum masuk. Tentara masuk depan asrama disusul lagi Satpol PP lalu merusak semua pagar. Mereka maki kami dengan kata-kata rasis,"Â kata Dorlince, juru bicara Aliansi Mahasiswa Papua.
Akan tetapi, perusakan bendera merah putih tidak diketahui oleh mahasiswa Papua. Menurut Dorlince, ada penggiringan opini yang menuduh mereka merusak bendera merah putih.
"Opini yang digiring di luar sana itu, kami (dituduh) merusak bendera dan sejenisnya. Sementara kami sendiri tidak tahu," ujar Dorlince.
Akibatnya masyarakat Papua tidak menerima tindakan yang dianggap sebagai diskriminasi terhadap mahasiswa Papua. Demonstrasi secara besar-besaran terjadi di Manokwari. Gedung DPRD dibakar, aparat dilempar dan sebagainya.
Peristiwa ini adalah sebuah tindakan tanpa mikir yang bisa memicu perpecahan. Ya, sejumlah ormas yang mengepung asrama mahasiswa Papua bertindak seperti sumbu pendek yang cepat ledak. Tanpa memastikan kebenarannya terlebih dahulu, penyerangan langsung dilakukan.
Oke. Tindakan mereka adalah membela bangsa Indonesia tetapi bukankah hal tersebut adalah main hakim sendiri? Bukankah kepolisian bisa menanganinya sendiri?
Ormas terprovokasi dengan penyebaran informasi di media sosial. Sehingga tindakan ormas sudah mengarah pada suku dan hal ini sangat berbahaya. Pada bulan Juli saya menulis artikel berjudul "Lampu Kuning dari Ahok untuk Indonesia". Dalam tulisan tersebut saya membahas tentang isu SARA yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.