Oleh : Rosidah Binti Musa
Hampir setiap pagi aku melihatnya duduk di depan surau pesantren, tekadang mata ini berpapasan dengannya. Namun ia dengan secepatnya, memalingkan wajah dan menenggelamkan dalam selarik kain yang melingkar di lehernya.
Ada rasanya ingin menyapa, namun dia tak pernah memberi kesempatan untukku sekedar menyapa. Dia belalu bahkan tanpa menoleh ke arahku, sungguh tingkahnya membuat diriku semakin penasaran dan ... mungkin aku menyukainya. Seharusnya tak boleh seperti ini, bahkan sangat memalukan bila abah tahu apa yang tengah aku, lakukan sekang.
Sebuah perasaan yang tak mampu diungkapkan, namun hanya dipendam. Sungguh setan sangat pandai menjerumuskan hamba-hamba Allah yang tengah ditimang oleh cinta, mataku tak dapat berpinda bila melihatnya apalagi mendengar suara merdu yang melantunkan ayat-ayat Allah. Sangat berbeda dengan yang lain, siapa pun yang mendengar hatinya pasti bergetar.
                   ****
Setiap pagi dia selalu mengisi tausyiah bersama putra-putri di surau, tapi aku tak bisa bergabung untuk mendengarkannya. Karena aku pun punya tugas mengajar anak-anak di pesantren juga, namun terkadang diam-diam aku mendengarkam dan menatap wajahnya yang teduh.
"Wahai anakku sedang apa kau di sini?"
Terperanjat bukan main, ketika abah menyapa dan membuyarkan semua lamunanku tentangnya. Tak ingin melihat wajah abah, karena malu sekaligus takut.
"Maaf aku masuk dulu, Bah."
Mudah-mudahan abah tak melihat apa yang tengah aku perhatikan, sungguh sangat takut sekali bila abah tahu. Apa jadinya bila anak seorang kyai, mencuri-curi pandang pada orang yang bukan mahramnya.
"Kenapa, makanan itu hanya dipandangi?" tegur ummi mengejutkanku.
Aku terkerjap dengan teguran ummi, tadi abah dan sekarang ummi. Sungguh tak mampuku sembunyikan lagi, mungkin ada baiknya bila aku mengungkapkan perasaan yang sebenarnya.