[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="sumber: tempo.co"][/caption] Isu impor beras kembali mencuat dan semakin memanas saat Menteri Perdagangan, yang juga peserta konvensi Capres Demokrat, Gita Wirjawan mengumumkan pengunduran dirinya. Awalnya berupa temuan beras Vietnam dalam jumlah besar yang dijual dengan harga medium dan sempat masuk Pasar Induk, Cipinang, Jakarta Utara.
Diduga telah terjadi pelanggaran dan markup perizinan dari Kementerian Perdagangan yang mengeluarkan izin bagi importer beras premium sebanyak 16.832 ton pada 2013. Belakangan diketahui, beras yang masuk ke Indonesia bukan beras premium melainkan beras mediun asal Vietnam dan dikemas dengan label ‘Beras Wangi’.
Beras ilegal tersebut bisa masuk lantaran ada izin impor dari Kementerian Perdagangan dan diduga merugikan negara. Pengamat Ekonomi Pertanian, Khudori menilai, karut – marut impor beras Vietnam ini bisa dimanfaatkan pihak tertentu untuk mengeruk keuntungan menjelang pemilu 2014.
Menurut Khudori, importir dan mafia pangan sudah mengetahui kelemahan pemerintah. Sehingga sangat mudah mengambil celah ketika keadaan panik akibat kelangkaan pasokan komoditas tertentu karena produksi yang tidak mencukupi atau karena permasalahan distribusi.
Persoalan beras impor illegal ini membuktikan tidak adanya koordinasi yang jelas antara kementerian perdagangan dan kementerian pertanian. Kebijakan impor pangan dalam jumlah besar juga menunjukkan bahwa pemerintah tidak serius dalam mengembangkan industri pertanian.
Lebih – lebih BPS melansir data yang menunjukkan bahwa sektor pertanian hampir tidak menyumbang apa – apa dalam angka produksi domestik bruto. Artinya, kementerian pertanian gagal dalam mengembangkan industri pertanian.
Persoalan impor beras juga bukan sekedar soal pelanggaran ketentuan atau adanya kemungkinan korupsi dalam perdagangan beras. Tetapi ini merupakan tanda tidak mampunya pemerintah mengelola hajat hidup rakyatnya sendiri.
Terungkapnya kasus impor beras illegal tersebut juga menjadi bukti pemerintah melecehkan kemampuan produksi petani Indonesia. Ironisnya negeri agraris.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H