"Gimana? Dingin, kan?" Kak Ina tertawa lebar.
Aku cuma mengangguk, merasakan air sedingin es.
"Ular!" tiba-tiba Kak Reni berteriak. Dengan panik ditunjuknya bagian bawah pohon besar itu
Kami terkesiap
Puluhan ular keluar dari bawah pohon, sebagian keluar dari dalam air.
"Aw, tolong!" kami berteriak panik.
"Lari!" Kak Reni menjerit.
Aku yang mematung, segera diseret Kak Reni, berlari meninggalkan tempat itu. Sekuat tenaga, kami berusaha lari dari sana. Dalam keadaan panik, jalanan terasa licin dan menanjak curam.
Aku menyeret kakiku yang gemetar, masih sempat kulihat puluhan ular menegakkan tubuhnya, siap menyerang kami. Karena tergesa-gesa, aku terpeleset dan terjatuh, ketika sampai di permukaan pemakaman.
Sejak saat itu tubuhku terserang gatal panas seperti terbakar. Gatalnya sangat menyengat, mula-mula hanya telapak tangan yang terasa, akhirnya seluruh tubuhku terkena gatal, dan ketika kugaruk, kulitku terkelupas memerah dan berair. Sungguh aku tersiksa. Hanya wajahku yang selamat, tak terkena gatal.
Kudengar dari Kak Reni, Kak Ina pun mengalami hal yang sepertiku, bahkan lebih parah! Wajahnya dipenuhi bintik --bintik bagai sisik ular, gatal di seluruh tubuh. Ternyata, hanya kami berdua yang diserang penyakit gatal, karena kamilah yang menciduk air telaga itu.