Mohon tunggu...
Neni Hendriati
Neni Hendriati Mohon Tunggu... Guru - Guru SDN 4 Sukamanah

Bergabung di KPPJB, Jurdik.id. dan Kompasiana.com. Hasil karya yang telah diterbitkan antara lain 1. Antologi puisi “Merenda Harap”, bersama kedua saudaranya, Bu Teti Taryani dan Bu Pipit Ati Haryati. 2. Buku Antologi KPPJB “Jasmine(2021) 3. Buku Antologi KPPJB We Are Smart Children(2021) 4. Alam dan Manusia dalam Kata, Antologi Senryu dan Haiku (2022) 5. Berkarya Tanpa Batas Antologi Artikel Akhir Tahun (2022) 6. Buku Tunggal “Cici Dede Anak Gaul” (2022). 7. Aku dan Chairil (2023) 8. Membingkai Perspektif Pendidikan (Antologi Esai dan Feature KPPJB (2023) 9. Sehimpun Puisi Karya Siswa dan Guru SDN 4 Sukamanah Tasikmalaya 10. Love Story, Sehimpun Puisi Akrostik (2023) 11. Sepenggal Kenangan Masa Kescil Antologi Puisi (2023) 12. Seloka Adagium Petuah Bestari KPPJB ( Februari 2024), 13. Pemilu Bersih Pemersatu Bangsa Indonesia KPPJB ( Maret 2024) 14. Trilogi Puisi Berkait Sebelum, Saat, Sesudah, Ritus Katarsis Situ Seni ( Juni 2024), 15. Rona Pada Hari Raya KPPJB (Juli 2024} 16. Sisindiran KPPJB (2024). Harapannya, semoga dapat menebar manfaat di perjalanan hidup yang singkat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Ayam Birma: Bertarung Demi Menjadi Raja

5 Januari 2023   15:20 Diperbarui: 5 Januari 2023   21:44 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ciap. Ciap, ciap!"

Baru saja terlelap. setelah seharian mengasuh cucu berenang di Crown, tiba-tiba saja terdengar suara anak ayam menciap dengan keras.

"Beh, ayammu, tuh!" kupanggil paksu yang sedang memegang HP.

"Biarkan saja!"

"Pisahkan mereka!" ujarku.

"Sudah bosan! Mereka memang sukanya diadu!" paksu gak peduli, dan melanjutkan tontonannya.

Paksu memang memiliki hobi memelihara ayam. Dan ayam yang diletakkan di belakang rumah, adalah ayam yang baru berumur 17 hari.

Saat malam, mereka diletakkan di kardus dan diberi lampu listrik, agar mereka tetap hangat. Tetapi anehnya, anak ayam ini senang sekali bertarung. Suara menciap tadi, menandakan pertarungan sedang berlangsung.

Aku segera bangkit, tak tahan mendengar suara ayam yang kesakitan. Kubuka pintu belakang.

Benar saja, dua anak ayam berwarna putih dan seekor lagi berwarna hitam, saling serang. Pertarungan segitiga!

Kukeluarkan HP, kufoto mereka, dengan harapan, mereka menghentikan pertarungan! Eh, ternyata mereka sama sekali tak merasa terganggu, bahkan semakin bersemangat melanjutkan laganya.

Anak ayan itu delapan bersaudara. Sempat dikira tak akan menetas, karena beberapa kali terguncang  gempa. Tetapi, alhamdulillah, mereka menetas, dan menjelma menjadi delapan anak ayam yang manis-manis.

Paksu segera membawa mereka ke belakang rumah, sedangkan induk ayam beserta yang lainnya, yang sudah besar-besar, ditempatkan di kebun keertean di tempat tinggal kami. Kebun yang cukup luas, dan tak terurus. Kebun itu berada di ujung perumahan, terhalang satu rumah jaraknya dari tempat tinggal kami.

Sejak usia dua minggu, anak ayam ini kalau siang hari dilepas di belakang rumah, dan mulai saling serang. Kedelapan ekor anak ayam itu saling patuk. Hingga saat ini, hanya tinggal tiga ekor inilah, yang masih saling serang. Lima ekor lainnya menyingkir mencari aman.

"Mereka mencari kedudukan, biar jadi raja di koloni ini!" tiba-tiba saja paksu sudah berada di belakangku.

"Jadi raja?" tanyaku heran.

"Iya! Pertarungan akan terus berlanjut, sampai dua ekor diantara mereka kalah dan takluk. Dan hanya satu yang jadi raja!" jelas paksu.

"Dengan tubuh bocok dan berdarah-darah begini?" ujarku ngeri.

"Iya, mereka melupakan rasa sakit, demi menjadi raja!"

"Hiy!"

Kuamati ketiga ayam petarung yang dipenuhi luka-luka di kepala, pipi, punggung dan bagian tubuh lainnya.

Paksu berkali-kali memisahkan mereka, tetapi mereka akan menciap dengan ribut! Mereka ingin berkumpul lagi dengan saudaranya, dan melanjutkan pertarungan.

Inilah mungkin yang dinamakan hukum rimba, siapa yang kuat, dia yang menang!

"Ayam birma memang begini. Mereka ayam petarung!" paksu melepaskan jeratan pohon pare pada salah satu kaki anak ayam itu.

Pohon pare kesayangan, sudah mulai kering batangnya, karena setiap saat dipatuki mereka. Pohon yang tadinya berbuah lebat, kini tinggal satu dua saja buahnya.

"O, yang telurnya berwarna biru, ya?" aku pernah melihat telurnya.

"Iyaa."

"Nanti lebaran, kita bagikan ke saudara, dan juga Pak RT yang telah berbaik hati meminjamkan kebun untuk kandang ayam."

"Iya, mending dibagikan aja, Beh!" aku mengangguk setuju.

Aku sendiri kurang suka makan ayam yang dipelihara paksu, gak tega rasanya! Aku dan anak-anak lebih suka ayam BR, yang dagingnya empuk, dan setiap hari tersedia di warung langganan.

Mudah-mudahan mereka lekas tumbuh besar, biar bisa dibagikan, dan takkan kudengar lagi suara menciap kesakitan, karena pertarungan.

Ketiga anak ayam itu, hingga kini masih tetap bertarung, entah sampai kapan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun