Anak ayan itu delapan bersaudara. Sempat dikira tak akan menetas, karena beberapa kali terguncang gempa. Tetapi, alhamdulillah, mereka menetas, dan menjelma menjadi delapan anak ayam yang manis-manis.
Paksu segera membawa mereka ke belakang rumah, sedangkan induk ayam beserta yang lainnya, yang sudah besar-besar, ditempatkan di kebun keertean di tempat tinggal kami. Kebun yang cukup luas, dan tak terurus. Kebun itu berada di ujung perumahan, terhalang satu rumah jaraknya dari tempat tinggal kami.
Sejak usia dua minggu, anak ayam ini kalau siang hari dilepas di belakang rumah, dan mulai saling serang. Kedelapan ekor anak ayam itu saling patuk. Hingga saat ini, hanya tinggal tiga ekor inilah, yang masih saling serang. Lima ekor lainnya menyingkir mencari aman.
"Mereka mencari kedudukan, biar jadi raja di koloni ini!" tiba-tiba saja paksu sudah berada di belakangku.
"Jadi raja?" tanyaku heran.
"Iya! Pertarungan akan terus berlanjut, sampai dua ekor diantara mereka kalah dan takluk. Dan hanya satu yang jadi raja!" jelas paksu.
"Dengan tubuh bocok dan berdarah-darah begini?" ujarku ngeri.
"Iya, mereka melupakan rasa sakit, demi menjadi raja!"
"Hiy!"
Kuamati ketiga ayam petarung yang dipenuhi luka-luka di kepala, pipi, punggung dan bagian tubuh lainnya.
Paksu berkali-kali memisahkan mereka, tetapi mereka akan menciap dengan ribut! Mereka ingin berkumpul lagi dengan saudaranya, dan melanjutkan pertarungan.