Zaki bungsu dari tujuh bersaudara, kakak sulungnya perempuan, dan limaorang kakak laki-laki. Ibunya meninggal sesaat setelah melahirkannya.
Pada saat itu sepuluh tahun yang lalu, kami datang melayat ke rumahnya, merasa trenyuh dengan nasib bayi kecil dan enam orang kakaknya. Tak ada sanak saudara di kota ini, mereka tinggal di pulau yang berbeda.
Ah, Zaki..., sekecil itu, sudah tak beribu!
Mereka tinggal di rumah sewaan, dengan kamar mandi umum di luar, khusus untuk para penghuni kontrakan yang berjumlah 3 petak.
Ketika Zaki berumur empat tahun, kakak perempuannya menikah dengan seorang pemuda yang berprofesi sebagai kuli bangunan. Ayahnya pulang ke kampung halaman, nun jauh di seberang sana, dengan alasan mencari pekerjaan.
Praktis, Zaki kecil hanya diasuh oleh lima orang kakak laki-lakinya, karena kakak perempuannya tinggal di kontrakan yang berbeda. Seringkali baju Zaki tak disetrika, dan jarang sekali sarapan.
Kini tinggal Zaki yang masih bersekolah, kakak-kakaknya telah lama putus sekolah, dan bekerja. Ada yang bekerja di bengkel, di tempat cuci motor, ada pula yang menjadi tukang parkir.
Saat lomba menggambar dan mewarnai dimulai, kulihat Zaki meminjam pensil warna sana-sini, dan ditolak.
"Ayo, saling berbagi, Nak. Pinjami temanmu pensil warna!" ujarku.
Alhamdulillah, ada anak perempuan yang mau meminjamkan.
"Ini punya saya, Bu!" katanya sambil menyodorkan pensil warnanya.