Yang saya ingat, mohon maaf kalau ada kesalahan, maklumlah, terakhir kali saya berlangganan Majalah ini sudah belasan tahun yang lalu. Pada bagian depan,  ada halaman yang berjudul Lawang Saketeng, semacam editorial, yang membahas tentang isu terkini dan yang menjadi artikel utama, dan semacam kata pengantar dari meja redaktur.  Lalu ada halaman Koropak, isinya semacam  surat pembaca. Lalu adalah halaman Hahaha, yang isinya lelucon atau guyonan pendek yang juga dikirimkan oleh para pembaca.Â
Ada juga halaman yang berjudul Munara Cahya, yang isinya adalah tentang artikel keagamaan penyejuk rohani. Setelah itu, sama seperti majalah-majalah yang lainnya, akan ada halaman Cerpen yang disebut Carpon (carita pondok), Cerita Bersambung yang disebut Carita Nyambung, sisanya ada artikel umum dan bebas, bahkan ada halaman khusus Sajak (Puisi).Â
Tak Ketinggalan, ada halaman berjudul Mang Lintrik yang biasanya adalah tulisan redaksi tentang tema khusus, kemudian ada halaman Kolom yang isinya dibuat oleh pengamat, budayawan, atau seorang ahli sastra, dan yang terakhir halaman Pangalaman Para Mitra, berisi artikel pendek yang merupakan kiriman pembaca yang berisikan pengalaman lucu dan jenaka. Itulah sekilas tentang Majalah Mangle.
Di rumah, selain karena kami tinggal di daerah Tatar Sunda, kami pun dibiasakan memakai Bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari, jadi saya tidak kesulitan untuk membaca Majalah Mangle meskipun usia saya saat itu masih usia sekolah dasar. Dan sejak di sekolah dasar itulah, kegemaran saya membaca sudah mulai tumbuh. Dan sepertinya, kegemaran mmbaca ini ditularkan oleh ayah saya.Â
Jadi Majalah Mangle yang sebenarnya bukan untuk anak-anak, saya baca juga, bahkan hanya  dalam waktu seminggu, saya bisa menyelesaikannya. Apalagi kalau ada cerita bersambung, alias cerbung.Â
Saya suka tidak sabar menunggu kelanjutan kisahnya di terbitan minggu berikutnya. Total halaman Majalah Mangle ini sendiri sebenarnya tidak begitu banyak, jamannya saya dulu, kalau tidak salah, hanya terdiri dari sekitar 20 halaman saja.
Dan dari seringnya membaca cerita pendek atau cerita bersambung yang menjadi halaman rutin yang ada di dalam Majalah Mangle, lama-lama malah saya jadi bisa tahu gaya masing-masing pengarangnya, bisa membedakan kekhasan masing-masing. Bahkan  di antaranya saya menjadi mempunyai pengarang favorit. Sebut saja  Edy D. Iskandar, Holisoh M.E., Usep Romli H.M, Jejen Jaelani (yang kebetulan, Pak Jejen Jaelani ini adalah Guru Bahasa Sunda saya di SMP).
Sekarang membaca Majalah Mangle hanya tinggal kenangan, tapi saya sangat bersyukur, majalah ini masih tetap eksis, meskipun sudah tergerus jaman dan semakin berkurang saja pembacanya.Â
Padahal Majalah Mangle ini adalah majalah yang sangat berkualitas, para pengelola dan penulis artikel di dalamnya adalah bukan orang sembarangan, mereka adalah ahli sastra, budayawan, penulis yang juga tidak hanya menulis dalam Bahasa Sunda saja, tetapi juga penulis Bahasa Indonesia. Di antaranya  adalah juga hadir dari kalangan akademisi. Dan sebagian juga bahkan adalah penulis novel terkenal.
Majalah Mangle adalah majalah yang telah memberikan sumbangsih besar terhadap kelangsungan tetap hidupnya Bahasa Sunda, keberadaannya di tengah masyarakat, telah memberikan banyak hal yang sangat berarti, yaitu sebagai media informasi, media edukasi, media hiburan, media mengekspresikan diri, dan yang juga tak kalah penting, telah ikut melestraikan bahasa ibu beserta budayanya, Basa Sunda dan Budaya Sunda. Â Terima kasih untukmu Majalah Mangle, semoga engkau akan tetap tegar berdiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H