Beberapa pekan lalu aku bercengkrama dengan seorang teman yang berada di ujung pulau berbeda. Di awal percakapan kami mulai dengan sepenggal kata basa-basi yang memulai intro dari inti pembicaraan kami, yaitu saling berbagi duka beserta kisah manisnya. Kami berdua saat ini, berada dalam lingkungan yang berbeda, maka dari itu permasalahan dan juga pemecahan masalahnya akan sangat berbeda.
singkatnya, kami bercerita panjang lebar tentang ambisi dulu semasa kuliah. Tentang kebiasaan kami yang hanya sibuk menuntaskan deadline tugas di perpus universitas lain atau bahkan tentang kami dan kisah cinta yang belum pernah kami tuangkan satu sama lain, karena ya memang belum ada.
lalu saya tersadar dan mengungkapkan hal ini " dari sekian apa yang diungkapkan, tampaknya kita selalu lupa untuk menyiapkan opsi terburuk dari tahap baru yang akan kita mulai, kita tak menyiapkan diri saat berkenalan dengan kegagalan. Padahal kita bukan Tuhan ".
kalimat-kalimat tersebut terus membawa saya pada perenungan, memang betul nyatanya seperti itu. Manusia kalo sudah terlanjur ingin mengendalikan busur panahnya akan lupa diri, bahwa bisa saja tembakannya itu akan melesat jauh dari sasaran. Jadi berkenalan dengan kegagalan juga tidak buruk, tapi juga tidak mudah.
saya sendiri baru merenunginya sekarang ini, betapa melelahkannya diri jika terus tergerus dalam pusaran keinginan tanpa mengindahkan adanya opsi kegagalan. Hal ini bukan berarti kita sudah putus asa terlebih dahulu, tentu saja ini berbeda. Jadi mari jalani hidup dengan semampunya, bahagia dengan versi kita, menangis boleh, gagal juga tak apa, apalagi jika sukses maka tetap ucapkan syukur dalam keadaan apapun.
seperti kata Jalaluddin Rumi " Aku akan membangun kembali diriku seribu kali, mencoba seribu cara, seribu trik dan menutupi seribu mil, sekuat apapun pukulan yang aku terima, responnya akan lebih kuat "
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H