Sabtu 4 Juni 2022, orangtua murid diminta ke sekolah untuk mengambil hasil psikotest siswa kelas 9. Tadinya, saya lupa, tapi berhubung diingatkan oleh salah satu orangtua murid, jadi saya pun ke sekolah.
Testnya sih sudah dua minggu lalu diadakan. Yang menjadi pertanyaan saya dan orangtua murid lainnya, sebenarnya penting tidak sih psikotest itu buat pelajar? Dan, berapa kali harus melakukan psikotest?
Kalau cuma sekedar ingin mengetahui minat dan bakat anak, menurut saya sih, tidak perlu juga psikotest.
Sebagai orangtua pasti paham bagaimana minat dan bakat anak. Tinggal mengamati saja kecenderungan minatnya apa. Semisal, kalau senang menggambar berarti lebih ke seni atau desain atau animasi. Bisa terlihat sejak anak mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak.
Tadinya saya enggan mengizinkan anak saya ikut psikotest (apalagi bayar). Buat apa? Nanti ketika di awal masuk SMA ada psikotes juga. Ada pembagian peminatan, IPS atau IPA. Seperti halnya kakaknya yang tidak lain anak pertama saya. Jadi, tidak penting-penting amat juga.
Tapi berhubung diharuskan ikut, mau tidak mau saya mengikutkan anak saya psikotest. Tentu saja ini tidak gratis. Eh, belakangan baru dibilang siswa tidak diwajibkan psikotest. Bagi yang mau saja. Tahu begitu...
Namun, wali kelas menyakinkan jika psikotest ini penting bagi anak dan orangtua. Tidak sekedar menggali potensi bakat dan minat serta kepribadian. Juga untuk mengetahui penjurusan  akademik sekolah lanjutan atau pada  jenjang pendidikan selanjutnya.
Jika dalam hasil psikotest itu ada permasalahan atau kesulitan terutama dalam belajar bisa diketahui sejak awal sehingga perkembangan diri anak bisa lebih baik ke depannya.
Ok kalau begitu.
Psikolog yang melakukan psikotest menjelaskan, dalam psikotes atau tes psikologi ada 3 aspek yang diukur. Yaitu, kemampuan dasar, sikap kerja dan aspek kepribadian.