Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Ketika Burung Suami Mati

16 November 2021   12:29 Diperbarui: 16 November 2021   12:45 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan hewan peliharaan. Sempat pelihara kucing kampung saat saya masih sendiri. Memandikannya, merawatnya, memberinya makan. 

Tapi, sejak menikah dan punya anak, saya memutuskan untuk tidak memelihara hewan. Saya malas saja. Lagi pula anak-anak masih kecil yang membutuhkan perhatian yang lebih ekstra.

Nah, kalau suami beda lagi. Dari awal menikah hingga sekarang sudah beragam hewan yang dipeliharanya. Mulai dari burung, ikan hias, hamsters, hingga kucing. Saya tidak pernah mengurusnya. Ogah saja.

Waktu pelihara burung, ada sekitar 10 sangkar bertengger di teras rumah. Jenis burungnya bermacam-macam. Warnanya juga beragam. Jadi, setiap pagi riuh dengan kicauan burung.

Suami saya rajin membersihkan kandangnya, memandikan si burung, memberinya makan, dan mengajaknya "mengobrol". Kalau tidak pagi, siang, atau sore. Saya sering memperhatikan aktifitas tersebut bersama anak-anak.

Terkadang, kalau malas atau lagi sibuk dengan urusan pekerjaannya, burung-burung hanya sekedar diberi makan. Sementara kotorannya, berhari-hari baru dibersihkan. Nah, ini yang sering membuat saya menggerutu.

Bagaimana saya tidak ngomel, kotoran burung terkadang berserakan di teras. Kan jadi kotor plus polusi. Kalau dihirup oleh anak-anak? Sudah dipel, eh tidak berapa lama kotor lagi, padahal kandangnya ada penampung kotoran.

Karena saya sering menggerutu dengan peliharaan burung yang banyak itu, akhirnya beberapa dijual oleh suami. Syukurlah.

Kalau suami pergi ke luar kota entah untuk urusan pekerjaan atau komunitasnya, suami sangat jarang menitipkannya kepada saya. Lebih seringnya ke petugas keamanan. Kebetulan pos security sektor rumah persis di depan rumah. Atau ke petugas kebersihan yang biasa nongkrong di pos satpam.

Ya iya, mana mungkin juga saya yang mengurus burung-burung suami? Kandangnya saja berat. Belum lagi kalau menggantungkannya kembali. Butuh tenaga.  

Saya selalu menolak. Di saat saya mengurus anak-anak, masa iya harus juga mengurus hewan peliharaan suami? Tapi, syukurlah, suami juga paham kalau saya tidak mau. Dan, dia tidak pernah marah.

Suatu ketika asisten rumah tangga saya mengabarkan jika burung mati di kandangnya. Saya sedang mengetik saat itu.

"Bun, Bub...burung Bapak mati," kata Mbak kepada saya ketika tengah menyapu bagian depan rumah, dengan tatapan terkejut, Selasa (16/9/2019), dua tahun lalu. Saya pun menghentikan pekerjaan saya.

"Saya curiga kok nggak ada suara burung, biasanya berisik, saya tengok ternyata mati," katanya lagi saat menyapu teras.

Mendengar informasi ini jelas saya terkejut. O, o! Wah pasti karena kelaparan. Sepertinya, dari Sabtu sampai Senin, burung tidak dikasih makan deh. Dan, parahnya, saya tidak ingat kalau di rumah ada burung peliharaan suami. Tidak engeh juga kalau "sepi".

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Biasanya, suami suka mengingatkan saya untuk kasih makan burung. Yang kasih makan bukan saya, tapi Om satpam atau Pak Asep, petugas kebersihan Sektor Berlian. Jadi, saya hanya mengingatkan saja untuk memberikan makan burung.

Saya jadi sedih karena membayangkan si burung meregang nyawa karena kelaparan. Betapa tidak pedulinya saya atas keberadaan si burung sampai saya tidak ingat padanya.

"Mang Asep, burung Bapak mati. Dikasih makan nggak sih?" tanya saya.

Petugas kebersihan ini memang sering dimintai tolong suami saya. Apa saja. Sebagai ucapan terima kasih, suami biasanya memberinya uang lelah.

"Burung Bapak mati? Saya nggak kasih makan emang, Bapak nggak nitip pesan apa-apa ke saya. Biasanya, Bapak suka ngomong kalo pergi-pergi," katanya.

"Bapak lupa kali ya. Saya juga nggak ingat lagi karena biasanya kan Mang Asep yang ngurusi kalo Bapak lagi nggak di rumah," kata saya.

Syukurlah burung-burung yang lain masih hidup. Lalu diberi makan.

Anak-anak pun tidak kalah terkejutnya. "Kalau Daddy marah bagaimana?" kata anak kedua saya.

Suami saya sejak Jumat memang tidak di rumah karena ada agenda touring Land Rover Club Indonesia ke Jogjakarta.

Kasih alasan apa ya kepada suami? Bilang diganggu Popo? Tapi saya bohong dong. Tendensius banget saya. Nanti Popo, kucing kampung yang tinggal di rumah dan dirawat selama bertahun-tahun, itu menuntut saya di akhirat karena memfitnahnya, bagaimana?

Menjadikan dia sebagai kambing hitam atas kematian si burung. Eh, kok kambing hitam, kucing hitam! Membayangkan hal itu saya bergidik.

Lalu saya sampaikan kematian si burung ke suami apa adanya tanpa dikurangi dan ditambahi. Syukurlah, suami menerima keadaan itu meski bersedih mengingat burung yang diberi nama Podang, itu sudah lima tahun bersamanya.

Burung yang sudah mati itu pun akhirnya dikubur di lahan dekat teras. Meski ini bukan hewan peliharaan saya, ya tetap saja saya sedih. Sedih karena kemungkinan mati kelaparan Huhuhuhu

Sebelumnya, bangkai burung saya bungkus dengan kain berlapis-lapis. Saya juga membuat kuburan sedalam minimal 50 centimeter. Lalu saya letakkan bangkai burung di dalam lubang, tutup lubang dengan tanah dari galian tersebut.

Kami pun berdoa dan memohon maaf atas kelalaian kami yang tidak memperhatikannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun