"Bapak lupa kali ya. Saya juga nggak ingat lagi karena biasanya kan Mang Asep yang ngurusi kalo Bapak lagi nggak di rumah," kata saya.
Syukurlah burung-burung yang lain masih hidup. Lalu diberi makan.
Anak-anak pun tidak kalah terkejutnya. "Kalau Daddy marah bagaimana?" kata anak kedua saya.
Suami saya sejak Jumat memang tidak di rumah karena ada agenda touring Land Rover Club Indonesia ke Jogjakarta.
Kasih alasan apa ya kepada suami? Bilang diganggu Popo? Tapi saya bohong dong. Tendensius banget saya. Nanti Popo, kucing kampung yang tinggal di rumah dan dirawat selama bertahun-tahun, itu menuntut saya di akhirat karena memfitnahnya, bagaimana?
Menjadikan dia sebagai kambing hitam atas kematian si burung. Eh, kok kambing hitam, kucing hitam! Membayangkan hal itu saya bergidik.
Lalu saya sampaikan kematian si burung ke suami apa adanya tanpa dikurangi dan ditambahi. Syukurlah, suami menerima keadaan itu meski bersedih mengingat burung yang diberi nama Podang, itu sudah lima tahun bersamanya.
Burung yang sudah mati itu pun akhirnya dikubur di lahan dekat teras. Meski ini bukan hewan peliharaan saya, ya tetap saja saya sedih. Sedih karena kemungkinan mati kelaparan Huhuhuhu
Sebelumnya, bangkai burung saya bungkus dengan kain berlapis-lapis. Saya juga membuat kuburan sedalam minimal 50 centimeter. Lalu saya letakkan bangkai burung di dalam lubang, tutup lubang dengan tanah dari galian tersebut.
Kami pun berdoa dan memohon maaf atas kelalaian kami yang tidak memperhatikannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H