Saya selalu menolak. Di saat saya mengurus anak-anak, masa iya harus juga mengurus hewan peliharaan suami? Tapi, syukurlah, suami juga paham kalau saya tidak mau. Dan, dia tidak pernah marah.
Suatu ketika asisten rumah tangga saya mengabarkan jika burung mati di kandangnya. Saya sedang mengetik saat itu.
"Bun, Bub...burung Bapak mati," kata Mbak kepada saya ketika tengah menyapu bagian depan rumah, dengan tatapan terkejut, Selasa (16/9/2019), dua tahun lalu. Saya pun menghentikan pekerjaan saya.
"Saya curiga kok nggak ada suara burung, biasanya berisik, saya tengok ternyata mati," katanya lagi saat menyapu teras.
Mendengar informasi ini jelas saya terkejut. O, o! Wah pasti karena kelaparan. Sepertinya, dari Sabtu sampai Senin, burung tidak dikasih makan deh. Dan, parahnya, saya tidak ingat kalau di rumah ada burung peliharaan suami. Tidak engeh juga kalau "sepi".
Biasanya, suami suka mengingatkan saya untuk kasih makan burung. Yang kasih makan bukan saya, tapi Om satpam atau Pak Asep, petugas kebersihan Sektor Berlian. Jadi, saya hanya mengingatkan saja untuk memberikan makan burung.
Saya jadi sedih karena membayangkan si burung meregang nyawa karena kelaparan. Betapa tidak pedulinya saya atas keberadaan si burung sampai saya tidak ingat padanya.
"Mang Asep, burung Bapak mati. Dikasih makan nggak sih?" tanya saya.
Petugas kebersihan ini memang sering dimintai tolong suami saya. Apa saja. Sebagai ucapan terima kasih, suami biasanya memberinya uang lelah.
"Burung Bapak mati? Saya nggak kasih makan emang, Bapak nggak nitip pesan apa-apa ke saya. Biasanya, Bapak suka ngomong kalo pergi-pergi," katanya.