Saya sebenarnya tidak terlalu suka dengan hewan peliharaan. Sempat pelihara kucing kampung saat saya masih sendiri. Memandikannya, merawatnya, memberinya makan.Â
Tapi, sejak menikah dan punya anak, saya memutuskan untuk tidak memelihara hewan. Saya malas saja. Lagi pula anak-anak masih kecil yang membutuhkan perhatian yang lebih ekstra.
Nah, kalau suami beda lagi. Dari awal menikah hingga sekarang sudah beragam hewan yang dipeliharanya. Mulai dari burung, ikan hias, hamsters, hingga kucing. Saya tidak pernah mengurusnya. Ogah saja.
Waktu pelihara burung, ada sekitar 10 sangkar bertengger di teras rumah. Jenis burungnya bermacam-macam. Warnanya juga beragam. Jadi, setiap pagi riuh dengan kicauan burung.
Suami saya rajin membersihkan kandangnya, memandikan si burung, memberinya makan, dan mengajaknya "mengobrol". Kalau tidak pagi, siang, atau sore. Saya sering memperhatikan aktifitas tersebut bersama anak-anak.
Terkadang, kalau malas atau lagi sibuk dengan urusan pekerjaannya, burung-burung hanya sekedar diberi makan. Sementara kotorannya, berhari-hari baru dibersihkan. Nah, ini yang sering membuat saya menggerutu.
Bagaimana saya tidak ngomel, kotoran burung terkadang berserakan di teras. Kan jadi kotor plus polusi. Kalau dihirup oleh anak-anak? Sudah dipel, eh tidak berapa lama kotor lagi, padahal kandangnya ada penampung kotoran.
Karena saya sering menggerutu dengan peliharaan burung yang banyak itu, akhirnya beberapa dijual oleh suami. Syukurlah.
Kalau suami pergi ke luar kota entah untuk urusan pekerjaan atau komunitasnya, suami sangat jarang menitipkannya kepada saya. Lebih seringnya ke petugas keamanan. Kebetulan pos security sektor rumah persis di depan rumah. Atau ke petugas kebersihan yang biasa nongkrong di pos satpam.
Ya iya, mana mungkin juga saya yang mengurus burung-burung suami? Kandangnya saja berat. Belum lagi kalau menggantungkannya kembali. Butuh tenaga. Â