Miskin tapi kok merokok?
Kalau dipikir-pikir sebenarnya bisa kok masyarakat yang berada di garis kemiskinan tidak lagi miskin. Tidak ada kelaparan, tidak ada angka putus sekolah, tidak ada kekurangan gizi dengan alasan himpitan ekonomi.
Bagaimana caranya? Kita minta saja para perokok aktif -- yang juga sebagian besar adalah mereka dengan penghasilan pas-pasan, untuk mengalihkan uang yang dialokasikan untuk membeli rokok ke  kebutuhan gizi keluarga atau menabung?
Jika ini dilakukan berapa banyak keluarga akan semakin sejahtera? Pertanyaannya, apakah mereka mau? Karena faktanya, di saat pandemi Covid-19 melanda, dan orang-orang banyak terdampak secara ekonomi, lha kok untuk membeli rokok masih bisa.Â
"Hebatnya", mereka memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok. Aneh, kan? Menurut saya sih ya aneh. Lha teriak-teriak tidak punya uang untuk beli sembako, tapi untuk beli rokok, ya ada saja uangnya.
Ternyata, ada pandemi Covid-19 atau tidak, perilaku untuk tetap merokok tidak berubah. Baik dari sisi kuantitas maupun intensitas merokok, termasuk mereka yang berpendapatan rendah itu.Â
Setidaknya begitu hasil temuan Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT). Lembaga itu membeberkan hasil survey yang dilakukan pada 2020. Dan, hasilnya ya cukup mencengangkan!
Dalam diskusi virtual mengenai "Perilaku Merokok Selama Pandemi COVID-19 dan Dampaknya Terhadap Kesejahteraan Keluarga", yang diadakan Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI), Komnas PT membeberkan hasil temuannya itu.Â
Dicatat ya. Sebanyak 49,8 persen responden yang merokok mengaku memiliki pengeluaran tetap untuk membeli rokok selama pandemi Covid-19. Sebanyak 13,1 persen responden perokok bahkan mengaku pengeluaran untuk membeli rokok meningkat.Â
Mayoritas dari mereka, yaitu 77,14 persen, dengan penghasilan kurang dari Rp5 juta. Ironisnya, mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 2 juta juga punya pengeluaran tetap untuk membeli rokok. Angkanya, mencapai 9,8 persen. Sisanya yang 17,8 persen berpenghasilan Rp2 juta hingga Rp5 juta.