"Jangan biarkan mantan narapidana pencabulan anak usia dini (pedofilia) masih berlalu-lalang dengan bahagia di dunia hiburan, sementara korbannya masih merasakan trauma...
Sungguh sangat berharap stasiun televisi melakukan hal yang sama dengan memboikot mantan narapidana pencabulan anak di usia dini (pedofilia) muncul. Semoga petisi ini membuahkan hasil yang memuaskan," begitu bunyi petisi yang mendapat dukungan lebih dari 500.000 tanda tangan itu.
Glorifikasi dalam rentang waktu yang begitu cepat. Seketika ada di stasiun televisi ini, dan tidak berapa lama ada di stasiun televisi yang lain.
Bagaimana tidak, pria 41 tahun itu langsung diajak bersafari ke dua acara: Bercanda tapi Santai (BTS) di Trans 7 dan Kopi Viral di Trans TV. Belum lagi hadir di acara rangkaian pernikahan Rizky Bilar dan Lesti Kejora di ANTV, yang disaksikan oleh se-Indonesia Raya dan mungkin juga dunia.
Baca juga: Saiful Jamil dan Hilangnya "Kewarasan"
Bagaimana orang bisa "lupa"? Bagaimana orang tidak geram, lalu menggalang petisi untuk mencekalnya. Ini sesuatu hal yang wajar. Karena penyambutan yang luar biasa dan banjirnya tawaran job itu menimbulkan kesan bahwa kejahatan seksual hal yang biasa.
Inilah yang tidak dipikirkan oleh para pendukungnya dan stasiun televisi yang dengan pongahnya mengabaikan empati sosial. Polemik yang ingin ditonjolkan agar meraih rating, tidak seperti yang dibayangkan. Justru memunculkan petisi penolakan Saiful Jamil.
Bukan salah masyarakat yang akhirnya mencekalnya agar tampil di publik. Kesalahan ada pada para pendukungnya dan stasiun televisi, juga pada sosok Saiful Jamil dan orang-orang di sekitarnya, termasuk managernya.Â
Andai para pendukungnya mengalami kejadian serupa pada anaknya apakah akan melupakan begitu saja peristiwa kelam itu?
Jika saja korban dari Saiful Jamil adalah anak dari para pendukungnya atau orang-orang yang ada di stasiun televisi itu, apakah mereka tetap akan menyambutnya? Saya pastikan tentu saja tidak.
Ah, sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bubur pun masih bisa enak dimakan. Lha ini? Mau makan bubur saja dilarang. Dilepeh. Dibuang.