Rabu (11/8/2021) siang kemarin, waktu saya turun di Stasiun Depok Lama, perut saya didera rasa lapar. Ditahan-tahan biar makan di rumah saja, perut saya tidak bisa diajak kompromi. Berisik minta diisi.
Saya lantas mampir di warteg yang tidak begitu jauh dari Stasiun Depok Lama. Di dalam cukup sepi. Hanya ada satu pengunjung yang tengah makan.
"Mas, makan di tempat boleh nggak?" tanya saya kepada pegawai warteg.
"Boleh," katanya seraya tersenyum lebar.
"Benar nih. Jangan sampai ada razia, ntar kena denda lagi, kan lumayan dendanya," kata saya memastikan. Ia tetap bersikukuh dengan jawaban semula.
Saya pun duduk di bangku panjang. Saya tidak sendiri, ada kawan saya yang juga ikut. Tapi dia hanya menemani karena ia sedang puasa Nabi Daud.Â
Di samping saya, duduk pengunjung yang sedang makan tadi. Jarak saya dengannya sekitar 1,5 meter. Ingat, tetap prokes.
"Nasinya setengah atau satu porsi?" tanyanya yang saya jawab "satu porsi".Â
Maklum, lapar berat. Soalnya saya belum sarapan. Hanya menyeruput teh hangat bertemankan biskuit Roma. Ah, ini mah tidak nendang di perut saya.
Lalu jari saya menyentuh kaca etalase. Ini adalah warteg touch screen. Saya hanya menggerakkan jari saya pada layar etalase.
"Ini, ini, sama ini," kata saya seraya jari saya menyentuh "layar" dengan tampilan makanan terong balado, sayur labu, tumis ati ampela, dan sambal.