Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Ini Penyebab Hasil Test PCR Negatif Palsu

27 Juli 2021   18:15 Diperbarui: 27 Juli 2021   18:25 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Hasil negatif palsu tidak hanya terjadi pada test swab antigen. Test PCR (Polymerase Chain Reaction) dalam sejumlah kasus, ditemukan hasil yang bisa dinyatakan negatif palsu.

Misalnya, seseorang melakukan tes swab di rumah sakit dan hasilnya positif. Kemudian keesokan harinya kembali melakukan swab PCR di rumah sakit berbeda, namun hasilnya menjadi negatif.

Kasus ini dalam dunia kedokteran disebut sebagai false negative. Negatif palsu atau false negative berarti tes menunjukkan seorang tidak memiliki Covid-19 meski ternyata memiliki gejala Covid-19.

Dengan kata lain, kondisi ketika seseorang yang sakit covid-19 tapi hasil tesnya negatif. Lantas, mengapa itu bisa terjadi? Apakah lab PCR-nya mengalami error?

Ahli Epidemologi Universitas Indonesia Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, MSc, menegaskan, perbedaan hasil itu bukan berarti lab PCR mengalami error.

Test PCR adalah metode pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus. Menurutnya, metode ini memiliki akurasi paling tinggi. Bisa mencapai 90 persen dibanding model swab antigen atau rapid antigen.

Meski memiliki akurasi yang tinggi, ada sejumlah kasus pasien Covid-19 yang tetap menunjukkan hasil PCR negatif. Padahal, semua gejala Covid-19 ditemukan pada pasien tersebut.

Jadi, tidak ada larangan seseorang lantas berpergian dengan mengantongi hasil test PCR yang negatif. Terlebih test PCR tersebut dilakukan di RS yang memang memenuhi syarat menjadi salah satu jejaring laboratorium pemeriksaan Covid-19.

Menurutnya, bisa jadi saat melakukan test pertama masih dalam masa inkubasi. Saat test kedua, masa inkubasi sudah terlewati, sehingga memungkinkan hasilnya negatif, meski hanya berbeda 1 hari.

Baca juga: Hasil Tes Antigen Negatif, Bukan Berarti Bebas Covid-19

"Faktor waktu dan prosedur pengambilan sampel swab sangat memengaruhi. Waktu pengambilan swab yang berbeda bisa memberikan hasil pemeriksaan yang berbeda pula," katanya, saat dihubungi, Jumat (23/7/2021).

Jika tes PCR dilakukan dalam masa inkubasi virus setelah terpapar, kondisi ini disebut sebagai negatif palsu. Mungkin karena jumlah virusnya yang rendah dan berada di bawah ambang deteksi PCR sehingga memberikan hasil negatif.

Untuk PCR waktu paling baik adalah saat memasuki 7 atau 8 hari setelah terpapar virus atau 3 sampai 5 hari setelah gejala muncul.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Negatif palsu hampir 100 persen terjadi ketika diperiksa satu hari setelah terpapar. Lalu menurun menjadi 67 persen jika diperiksa dalam 5 hari setelah terpapar. Setelah hari ke-8, negatif palsu berkurang lagi menjadi 21 persen.

Bisa juga karena pengerjaan swab yang kurang dalam ke hidung. Ini juga akan memberikan hasil negatif meski sebenarnya orang tersebut mengalami gejala Covid-19. Ini bisa terjadi jika petugas swab kurang berpengalaman atau waktu saat melakukan tes kurang tepat.

Namun, sekali lagi ia menegaskan, bukan karena metode pemeriksaan test PCR-nya yang error.

Terkait RS yang memberikan hasil yang berbeda, menurutnya, tidak bisa juga dituntut secara hukum. Karena test PCR adalah metode yang paling akurat. Lagi pula tidak sembarang RS dirujuk untuk menjadi laboratorium pemeriksa Covid-19.

Hal senada juga disampaikan Ketua Umum PB IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Dr. Daeng M Faqih, SH, MH. Dalam kasus negative false atau negatif palsu pasien Covid-19, ada banyak faktor yang memengaruhi perbedaan hasil uji swab PCR.

Menurutnya, ada dua kemungkinan terhadap kasus PCR negatif pada pasien dengan gejala Covid-19. Pertama, bisa berhubungan dengan waktu pengambilan sampel material untuk PCR yang kurang tepat. Yakni saat pasien baru terpapar.

"Sehingga belum terbentuk antibodi saat pengambilan sampel (masa inkubasi) atau pasien mengalami gangguan antibodi (immunocompromised). Jadi, saat dilakukan test belum terbentuknya zat antibody (masa inkubasi virus)," kata dr. Daeng, Kamis (22/7/2021).

Dalam pengamatannya, munculnya kasus negatif palsu pada pasien Covid-19 pada beberapa kasus ditemukan pada awal-awal pemeriksaan.

Karena itu, jika ada pasien dengan gejala mengarah Covid-19 tetapi hasil pemeriksaan PCR ternyata negatif, maka harus diulang beberapa hari kemudian. Bisa jadi saat awal diperiksa, zat antibody belum terbentuk. Pengambilan sampel ulang dilakukan 7-10 hari kemudian.

Pemeriksaan ulang ini bukan lantas berarti metode pemeriksaan PCR error. RS, katanya, dalam bertindak memberikan pelayanan kepada pasien sudah terikat dengan aturan dan standar yang diberlakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan.

Kemungkinan kedua, letak infeksi yang tidak terjangkau alat pemeriksaan PCR. Seperti diketahui infeksi Covid-19 dapat terjadi pada area di belakang hidung hingga alat pernafasan paru-paru.

"Kasus yang banyak terjadi, infeksi terletak di belakang lubang hidung sehingga terjangkau oleh alat deteksi PCR. Tetapi jika letak infeksinya lebih dalam, tentu alat PCR tidak bisa menjangkaunya," jelas Dr Daeng. (Bisa jadi ini yang menyebabkan ibu saya saat test antigen hasilnya negatif)

Terhadap kasus seperti ini, Kementerian Kesehatan merujuk pada standar WHO telah menetapkan standar penanganannya (SOP). Bahwa pada pasien gangguan pernafasan dan infeksi yang menyerupai gejala Covid-19, meski hasil PCR-nya negatif, harus dilakukan terapi-terapi pengobatan layaknya pasien Covid-19.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi

Meng-covid-kan Pasien?

Adanya SOP tersebut, dr. Daeng mengakui, banyak masyarakat menuding dokter atau rumah sakit cenderung meng-Covid-19 pasien dengan gejala demam atau sesak nafas.

Padahal SOP-nya memang demikian sebagimana yang ditetapkan oleh Kemenkes dan WHO. Siapapun pasien yang datang ke layanan kesehatan dengan gejala sama persis atau beberapa gejala mirip Covid-19, maka harus diperlakukan sebagai pasien Covid-19.

"Tujuannya, agar tidak terlambat penanganannya dan pasien dapat dicegah dari tingkat keparahan sakit bahkan kematian," tegasnya.

Untuk kasus negatif palsu ini, kata Dr Daeng,  jumlahnya sangat sedikit. Bukan berarti PCR-nya error. Untuk menghindari kesalahan diagnosis, penting juga ditunjang dengan pemeriksaan rontgen.

Pemeriksaan rontgen pasien Covid-19 biasanya hasilnya akan menunjukkan terjadinya ground glass opacity (GGO) yakni kondisi abnormal paru-paru ditandai dengan warna putih atau abu-abu pada hasil rontgen.

Kepala Humas Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) Anjari Umarjianto, S.Kom, SH, MARS, menegaskan, tidak sembarang rumah sakit bisa jadi rujukan Covid-19. Untuk menjadi RS Rujukan Covid-19, RS tersebut harus melalui seleksi yang ketat.

Seleksi ini menyangkut persyaratan yang harus dipenuhi seperti ketersediaan ahli patologi, petugas laboratorium, dan sarana parasarana lainnya sesuai standar yang sudah ditentukan Kementerian Kesehatan dan Satgas Penanganan Covid-19.

"RS meng-Covidkan pasien? Setelah kami telusuri tudingan sekelompok orang terhadap rumah sakit itu tidak ada yang benar. Tidak ada rumah sakit yang meng-Covidkan pasien. Ini adalah tudingan yang tidak masuk akal, apalagi bermotif uang," tegas Anjari.

Ia menegaskan, penanganan pasien Covid-19, aturannya sangat ketat dengan pengawasan yang berlapis, baik internal maupun eksternal.

"Ada lebih dari 1000 tenaga kesehatan yang meninggal akibat Covid-19, jadi tidak logis kalau RS dituduh meng-Covid-kan pasien," tukasnya.

Jadi, nalar sehatnya di mana kalau dalam kondisi seperti itu masih ada yang tega menuding rumah sakit meng-Covidkan pasien?

Tudingan tersebut bagi Anjari tidak masuk akal, mengingat pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung lebih dari satu tahun justeru membuat rumah sakit cukup kewalahan.

Bahkan dalam beberapa hari terakhir ini, pelayanan RS dalam keadaan kolaps karena banyaknya pasien Covid-19 yang harus ditangani.

Meski demikian, pasien dan keluarga pasien berhak meminta penjelasan kepada dokter dan RS jika memang menemukan indikasi ketidakberesan dalam layanan maupun penegakan diagnosis penyakit.

Sebaliknya, dokter dan rumah sakit juga memiliki hak untuk dihargai dan dihormati dalam hal penegakan diagnosis maupun pengambilan tindakan medis, sesuai dengan SOP yang berlaku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun