Dalam pengamatannya, munculnya kasus negatif palsu pada pasien Covid-19 pada beberapa kasus ditemukan pada awal-awal pemeriksaan.
Karena itu, jika ada pasien dengan gejala mengarah Covid-19 tetapi hasil pemeriksaan PCR ternyata negatif, maka harus diulang beberapa hari kemudian. Bisa jadi saat awal diperiksa, zat antibody belum terbentuk. Pengambilan sampel ulang dilakukan 7-10 hari kemudian.
Pemeriksaan ulang ini bukan lantas berarti metode pemeriksaan PCR error. RS, katanya, dalam bertindak memberikan pelayanan kepada pasien sudah terikat dengan aturan dan standar yang diberlakukan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan.
Kemungkinan kedua, letak infeksi yang tidak terjangkau alat pemeriksaan PCR. Seperti diketahui infeksi Covid-19 dapat terjadi pada area di belakang hidung hingga alat pernafasan paru-paru.
"Kasus yang banyak terjadi, infeksi terletak di belakang lubang hidung sehingga terjangkau oleh alat deteksi PCR. Tetapi jika letak infeksinya lebih dalam, tentu alat PCR tidak bisa menjangkaunya," jelas Dr Daeng. (Bisa jadi ini yang menyebabkan ibu saya saat test antigen hasilnya negatif)
Terhadap kasus seperti ini, Kementerian Kesehatan merujuk pada standar WHO telah menetapkan standar penanganannya (SOP). Bahwa pada pasien gangguan pernafasan dan infeksi yang menyerupai gejala Covid-19, meski hasil PCR-nya negatif, harus dilakukan terapi-terapi pengobatan layaknya pasien Covid-19.
Meng-covid-kan Pasien?
Adanya SOP tersebut, dr. Daeng mengakui, banyak masyarakat menuding dokter atau rumah sakit cenderung meng-Covid-19 pasien dengan gejala demam atau sesak nafas.
Padahal SOP-nya memang demikian sebagimana yang ditetapkan oleh Kemenkes dan WHO. Siapapun pasien yang datang ke layanan kesehatan dengan gejala sama persis atau beberapa gejala mirip Covid-19, maka harus diperlakukan sebagai pasien Covid-19.
"Tujuannya, agar tidak terlambat penanganannya dan pasien dapat dicegah dari tingkat keparahan sakit bahkan kematian," tegasnya.