Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Zahra dan UU yang Dilanggarnya

3 Juni 2021   18:51 Diperbarui: 3 Juni 2021   19:10 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Humas Kemen PPPA

Entah bagaimana ceritanya seorang anak perempuan berusia 15 tahun memerankan karakter sebagai isteri ketiga yang sedang hamil? Bagaimana ceritanya anak perempuan ini bisa menjadi pemeran tokoh utama dari sinetron yang dimainkannya jika dilihat dari usianya? 

Bagaimana ceritanya orangtua anak perempuan ini mengizinkan si anak memerankan tokoh yang akhirnya menuai kontroversi dan banyak diprotes ini? 

Apakah tidak dipikirkan baik buruk yang ditimbulkan dari tokoh yang diperankannya itu? Harusnya orangtua bisa lebih bijaksana dalam memilih peran yang tepat dan selektif menyetujui peran yang akan dimainkan oleh anaknya.

Yang membuat ngenes, bagaimana ceritanya sinetron ini bisa lolos tayang? Apa maksud menayangkan sinetron yang "tidak senonoh" ini ? Apa hanya bisa bilang "ambil nilai yang baik, dan buang nilai yang buruk"? Atau "kalau tidak suka, ya sudah tidak usah ditonton, begitu saja kok repot"? Apa begitu?

Bagaimana Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) tidak dibuat geram? Alih-alih mendukung program pemerintah untuk "Stop Pernikahan Anak", yang ada stasiun televisi itu malah "mendukung" pernikahan di bawah umur.

Sesuatu yang kontraproduktif dengan apa yang tengah diperjuangkan oleh pemerintah. Sinetron itu, bagaimana pun dinilai telah melanggar hak anak karena anak berusia 15 tahun diberikan peran sebagai istri ketiga dan dipoligami.

Dalam cerita sinetron itu, si tokoh utama digambarkan seorang anak perempuan yang masih duduk di bangku SMA. Namun, ia mau tak mau harus menikah dengan Pak Tirta. Dan, sangat disayangkan, konflik keluarga dalam sinetron ini ditayangkan pada jam tayang prime time, yakni pukul 18.00 WIB.

Sebagaimana Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS), lembaga penyiaran seharusnya mendukung pemerintah dalam upaya pemenuhan hak anak dan demi kepentingan terbaik anak. Dalam P3SPS juga mengatur larangan untuk anak-anak menjadi pembawa acara atau pengisi program yang disiarkan secara langsung di atas pukul 21.30.

Nyatanya? Hal itu jelas melanggar Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, dan P3SPS. Bagaimana pun, setiap media dalam menghasilkan produk apapun yang melibatkan anak, seharusnya tetap berprinsip pada pedoman perlindungan anak. Inilah yang mendasari semua upaya perlindungan anak.

Berapa banyak undang-undang yang dilanggar? Selain "melanggar" UU tentang Penyiaran, juga melanggar Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, juga melanggar Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.

Dari segi hukum positif menikahkan anak di bawah umur memang tidak dibenarkan. Pada UU Perkawinan No. 16/2019, usia minimal pernikahan (laki-laki dan perempuan) itu 19 tahun. Dan pada UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, usia minimal pernikahan adalah 18 tahun.

Jadi, tayangan sinetron tersebut bisa diartikan dapat melanggengkan praktik pernikahan di bawah umur sekaligus jadi bagian dari kekerasan berbasis gender di Indonesia.

Dokumentasi Humas Kemen PPPA
Dokumentasi Humas Kemen PPPA
"Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak. Jangan hanya dilihat dari sisi hiburan semata, tapi juga harus memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak," begitu suara hati Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, menyoroti sinetron tersebut, Kamis (3/6/2021)

Menteri Bintang menegaskan setiap tayangan sejatinya harus mendukung program pemerintah dan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan perkawinan anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pencegahan kekerasan seksual, dan edukasi pola pengasuhan orangtua yang benar.

Tayangan ini secara tidak langsung akan memengaruhi kondisi psikologis masyarakat dan menimbulkan toxic masculinity. Yang berarti akan terbangun konstruksi sosial di masyarakat bahwa pria identik dengan kekerasan, agresif secara seksual, dan merendahkan perempuan.

Selain itu, tayangan tersebut berisiko memengaruhi masyarakat untuk melakukan perkawinan usia anak, kekerasan seksual, dan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) karena pada tayangan tersebut diceritakan si pemeran utama dinikahkan dengan alasan untuk membayar hutang keluarganya.

Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) Indonesia, Rommy Fibri Hardiyanto sendiri membantah kecolongan soal polemik sinetron tersebut. Menurutnya, LSF tidak memiliki kewenangan untuk mengecek detail usia para pemain dalam sebuah tayangan.

Dikatakan, ranah LSF dalam melakukan penyensoran film dan tayangan sebelum diedarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak umum berfokus pada aspek audio visualnya.

"Bukan soal kecolongan atau tidak, LSF tidak mengecek pemain itu umur berapa, LSF hanya melihat adegan gambarnya visual dialognya, jadi nggak sampai menanyakan umur pemainnya satu-satu ya," ujar Rommy Fibri Hardiyanto kepada CNNIndonesia.com pada Kamis (3/6).

Menurut saya pribadi sebagai orangtua dan isteri, tayangan sinetron itu dihentikan saja, meski akhirnya si pemeran utamanya akan diganti. Tayangan seperti sinetron atau drama meski dianggap sebagai bentuk hiburan, tetap saja akan dijadikan rujukan dalam kehidupan sehari-hari.

Seharusnya tayangan-tayangan yang mempromosikan pernikahan dini dalam setiap programnya, dihentikan saja. Jangan sampai "kekeliruan" tempo lalu terulang kembali dan beranggapan itu hanya tontotan.

Pengelola rumah produksi juga harus "belajar" dari "kekeliruan" masa lalu bahwa menjadikan anak sebagai pemeran dalam suatu kisah sinetron, drama, film atau seni peran secara keseluruhan harus diberikan peran yang sesuai dengan umur mereka sebagai anak.

Jangan sampai peran-peran tersebut memengaruhi secara negatif bagi tumbuh kembang dan psikologis anak.

Terlebih jika mengangkat poligami sebagai konflik utamanya. Isu ini di Indonesia cukup sensitif bagi sebagian orang. Namun, sinetron ini dirasa kurang peka akan sensitivitas tersebut. Apalagi jika poligami itu sendiri tidak merujuk pada Alquran dan Hadist, melainkan karena merujuk pada hawa nafsu.

Sejatinya bukan hanya tayangan sinetron itu saja yang harus dikritisi oleh orangtua dan masyarakat, tetapi juga sinetron-sinetron lainnya. Tayangan-tayangan dalam berbagai media platform internet seperti game online atau tayangan kartun juga perlu diwaspadai.

Semoga, ke depannya sinetron Indonesia menjadi lebih baik, yang tidak sekedar menjadi tontonan tetapi juga tuntunan. Semoga pula ke depan, anak-anak Indonesia semakin terlindungi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun