Hari ini, Jumat (21/5/2021), tepat 23 tahun gerakan reformasi mahasiswa berhasil melengserkan Presiden Soeharto yang selama 32 tahun berkuasa di negeri ini. Dan, bisa dibilang saya ikut menjadi bagian dari sejarah tersebut.
Ya, 23 tahun lalu saya ikut turun ke jalan bersama rekan-rekan mahasiswa sekampus, dan bergabung dengan mahasiswa lainnya. Bersama mahasiswa dari Universitas Pancasila, Universitas Nasional, saya ikut "long march". Saya masih bisa ikut berbaur dalam gerakan ini karena masa cuti kuliah saya setahun selesai.
Saya juga ikut berbaur dengan mahasiswa yang sudah berkumpul di gedung DPR/MPR meski saya tidak sampai "menginap" di sana. Menyaksikan kebersamaan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi Indonesia secara langsung membuat jiwa saya ikut bergejolak.
Penolakan rezim Soeharto saat itu tidak tiba-tiba terjadi. Tetapi ada rentetan peristiwa sebelum pergerakan mahasiswa ini terjadi. Tindakan represi kekuasaan Orde Baru seperti penangkapan aktivis pro-demokrasi, pemenjaraan, penculikan, takurung menciptakan gerakan-gerakan bawah tanah.
Mahasiswa sudah terlalu muak dengan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dilakukan rezim Soeharto. Mahasiswa juga muak dengan sistem politik yang tersentralisasi oleh Golkar dan ABRI, hingga kebebasan berekspresi dan berpendapat dibungkam.
Ketika pada Mei 1997, Orde Baru menyelenggarakan Pemilu untuk kembali mengukuhkan kekuasaan Soeharto, gerakan rakyat dan mahasiswa mulai bergeliat dan merespon dengan lantang Pemilu 1997 dengan slogan 'Boikot Pemilu Orba dan Gulingkan Soeharto..!!', meski saat itu dalam kondisi yang begitu represif.
Meski demikian, Pemilihan Umum 1997 tetap bergulir. Pemilu ke-6 di masa Orde Baru itu seperti biasa Golkar sebagai pemenangnya dan itu berarti Soeharto kembali berkuasa.
Penolakan atas rezim ini kembali mencuat ketika MPR mengusulkan Soeharto kembali sebagai presiden periode ke-7. Universitas Gajah Mada (UGM) pada Februari 1998 pun melakukan jajak pendapat tentang usulan ini. Hasilnya sebanyak 90% mahasiswa menolak pencalonan tersebut.Â
Namun ketika hasil jajak pendapat itu dipublikasikan, MPR tidak menanggapi usulan tersebut. Ketua DPR/MPR saat itu Harmoko, mengatakan sebanyak 70% rakyat masih mendukung Soeharto.
Pernyataan inilah yang akhirnya memicu elemen  mahasiswa mulai bereaksi keras. Setelah Sidang Umum MPR Maret 1998 berakhir, mahasiswa pun mulai bergerak. Ditambah pada saat itu terjadi krisis moneter menambah ketidakpuasan rakyat kepada rezim Soeharto.