Menurut Paidi, berdasarkan hasil penelusuran terkait porang, diketahui 80 persen untuk makanan dan 20 persen untuk kosmetik. Ia lalu menyimpulkan porang memiliki nilai ekspor. Ia jadi bersemangat mencari porang yang masih langka dan tumbuh liar di hutan di kampung.
Paidi menjelaskan, dengan lahan 1 hektare, jika ditanami porang semuanya, dalam kurun dua musim atau sekitar dua tahun, petani bisa meraup omzet Rp 800 juta. Dari omzet tersebut, petani bisa mengantongi keuntungan Rp 700 juta setelah dikurangi biaya pengadaan bibit, pupuk, hingga pengolahan lahan sekitar Rp 100 juta.
Jika dulu masa panen porang menunggu sampai bertahun-tahun, kini hanya dalam waktu 6 hingga 8 bulan. Jelas, sangat menguntungkan petani.
Kini, Paidi sudah menjadi pengepul porang yang memiliki 66 karyawan. Paidi juga memiliki lahan porang sendiri seluas 10 hektare di kampungnya. Ia tidak pelit ilmu.
Ia kerap membagikannya secara gratis kepada masyarakat kampung. Mulai pelatihan  hingga pembagian bibit. Baik secara langsung maupun melalui blog pribadinya dan Youtube. Tujuan Paidi membagikan di media sosial ini, agar petani di manapun mereka berada dapat mengembangkan porang.
Saat ini mayoritas masyarakat di desa Kepel adalah petani porang. Sebelumnya, mereka adalah petani cengkeh dan durian, yang hasil panennya tidak sebanyak jika dibandingkan dengan tanaman porang.
Terinspirasi dari kesuksesan Paidi bercocok tanam porang yang mereka lihat sendiri hasilnya, akhirnya mereka tertarik untuk mengikuti jejak Paidi. Mereka belajar, mendapatkan benih dan bercocok tanam sesuai ilmu yang dibagikan Paidi secara suka rela.
"Percuma juga kita berbusa-busa bercerita kalau porang menjanjikan jika petani tidak melihat contoh yang ada di lapangan. Karena saya berhasil dan membuktikannya, mereka pun akhirnya percaya," katanya.
Porang, jenis umbi-umbian yang bentuknya tidak beraturan dan membuat gatal yang menyentuhnya ini sering dijumpainya di hutan. Porang tidak bisa dimakan begitu saja. Harus diolah terlebih dahulu.