Cukup melalui hp atau telepon pintar masyarakat sudah bisa mendapatkan berbagai informasi. Sambil berdiri, duduk, rebahan, minum kopi. Bahkan saat berdesakan di kendaraan umum pun masih bisa.
Media cetak mulai babak belur. Koran-koran besar perlahan mulai migrasi ke online. Halaman jauh berkurang, eksemplar apalagi semakin menyusut. Iklan jangan ditanya. Perhatikan saja iklan-iklan yang terpasang hanya tinggal satu, dua, atau tiga. Bisa dihitung jari.
Begitu pula nasib media siaran radio. Berapa banyak orang yang mendengarkan radio? Tidak seperti jaman jaya-jaya radio di era saya belum lahir.
Zaman dulu siaran radio berita sangat dibutuhkan masyarakat. Siaran radio berita menjadi sarana informasi untuk mengetahui apa yang terjadi di luar sana.
Radio yang semakin jarang kita dengarkan itu, memang masih terus bertahan, meski jalannya kian berat. Sebab, banyak pendengarnya, termasuk kita perlahan berpaling ke aplikasi-aplikasi lain yang bisa diakses dalam satu genggaman tangan.
Dan, di era serba digital ini, siaran radio seolah tenggelam. Banyak media online bermunculan mengalahkan eksistensi radio berita. Ibarat pepatah "hidup segan mati tidak mau"
Bagaimana dengan media online? Untuk memenuhi selera masyarakat, tidak sedikit media online yang menjadikan sumber referensinya dari media sosial. Narasumber tidak perlu ngomong. Cukup mengutip dari media sosial yang bersangkutan, sudah jadi "berita".
Perselingkuhan, aib rumah tangga, kekayaan, dan lain-lain menjadi santapan utama sebagian media online. Fashion branded mahal, liburan mewah juga menjadi pemberitaan. Apakah itu penting buat masyarakat?
Kualitas berita nanti dulu, yang penting (diharapkan) banyak yang baca. Makin lama, makin ke sini, makin menyedihkan. Hanya bisa dihitung jari media massa yang menyajikan produk jurnalistik yang benar-benar bermutu.
Yang menjadi pertanyaan apakah media massa masih diperhitungkan dan penting? Entahlah. Masyarakat kita juga sekarang lebih senang membaca media sosial daripada membaca media massa, apalagi media cetak. Yang lebih percaya hoax dibandingkan informasi valid yang disajikan media massa.
Terlebih berdasarkan survei Kementerian Kominfo pada 2020, sebanyak 20 persen responden menyatakan media sosial menjadi kanal informasi terpercaya masyarakat.