"Bu, ndak naik kuda aja. Murah kok bu," kata lelaki paruh baya ketika saya tengah berjalan kaki menyusuri padang pasir di kaki gunung Bromo, kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Selasa (29/12/2020).Â
Saya memang berjalan kaki untuk mengawasi anak-anak saya yang tengah menunggang kuda. Terbiasa berjalan kaki membawa saya untuk ya inginnya berjalan kaki. Jarak 1 km buat saya mah masih bisa ditempuh. Sudah terbiasa.
"Nggak pak," kata saya menolak. Wajah lelaki yang legam yang sepertinya terbakar terik matahari itu terus membuntuti saya.
"Buat penglaris aja nih bu," katanya. Sorot matanya terlihat kecewa. Seperti warna sarung lusuhnya yang melingkar di bahunya.Â
Sekali trip ia mematok tarif Rp100.000. Tarif ojek kuda itu sudah termasuk untuk perjalanan kembali menuju titik pemberhentian jeep. Karena saya tidak bergeming, ia pun menurunkan tarifnya.
Karena tidak enak hati dan kasihan, saya pun akhirnya menunggangi kudanya. Si Bapak mengajarkan saya bagaimana cara menaiki kuda. Satu kaki bertumpu pada pijakannya, kemudian tubuh harus didorong untuk menaiki kuda sampai bisa duduk di pelana.Â
"Bagaimana, duduknya sudah enak?" tanyanya yang saya jawab sudah setelah saya membaguskan posisi duduk saya.
Badan saya terlalu kaku untuk naik seekor kuda. Dia terus menyuruh saya untuk rileks dan menikmati setiap hentakan kaki kuda yang diikuti dengan irama tubuh yang juga bergerak.
Dia pun mengikuti langkah kuda sambil memegang tali yang terikat di kalung kuda. Sambil berjalan saya mengajaknya mengobrol. Katanya, dia sudah lama bekerja sebagai penuntun kuda wisatawan.Â
Berjalan kaki sejauh 1 km ke kaki gunung Bromo lalu kembali sejauh 1 km lagi, itu sudah biasa. Menjadi rutinitas yang dilakoninya selama 22 tahun ini. Jadi, jangan tanya capek atau tidak.
"Kalo jalur pendakian ke Gunung Bromo dibuka, kudanya bisa sampai sana, Bu," kata lelaki yang mengaku bernama Sudi, itu sambil menunjuk tanpa hijau dua di punggung gunung Bromo.