Meski demikian, saya diminta tetap harus rutin melakukan USG vaginal setiap 3 bulan sekali. Nah, sudah setahun ini saya tidak melakukan kontrol, karena kontrol terakhir hasilnya baik-baik saja.
Jadi, saya panik juga ketika hasil rabaan saya ada benjolan di area itu. Saya mulai menyalahkan diri saya karena mengabaikan pemeriksaan USG Vaginal setiap 3 bulan sekali itu.
Saya mulai membayangkan harus operasi lagi, harus disinar lagi, harus kemoterapi lagi, harus minum obat lain lagi, harus mengalami drop lagi, harus... ah pokoknya bayangan yang pernah saya alami sebelumnya.
Kehawatiran saya ini tidak saya sampaikan kepada suami sebelum ini benar-benar fix tumor. Ya biar tidak panik saja. Seperti halnya ketika saya kanker payudara.
Suami baru tahu saya kanker ketika saya akan dioperasi karena harus ada surat pernyataan kesediaan dioperasi yang ditandatangani oleh suami atau keluarga saya.
Ketika kontrol ke dokter spesialis bedah dan onkologi RS Hermina Depok, saya sampaikan keluhan saya ini kepada dr. Budi. Lalu olehnya saya dikonsulkan ke dokter spesialis kebidanan dan kandungan.
Setelah dijadwalkan, datanglah saya ke dokter tersebut yang saya lupa namanya. Saya sampaikan hasil rabaan dan keluhan saya, juga sejak kapan itu terjadi. "Saya khawatir saja nih dok," kata saya.
Kemudian saya diminta melepaskan celana dan duduk di kursi yang ada penyanggah betis di kiri kanan kursi. Kursi yang cukup diakrabi oleh perempuan, khususnya perempuan hamil atau ingin memasang alat kontrasepsi IUD.
Dokter dan perawat yang memeriksa saya memakai alat pelindung diri lengkap. Masker, sarung tangan medis, baju hamzat, dan face shield. Di kepalanya terpasang alat senter yang cahayanya cukup terang.
"Jangan tegang ya bu," katanya yang didampingi perawat. Saya merasa tangan dokter mengobok-obok bagian organ kewanitaan saya. Tidak lama. Tidak sampai 5 menit.
"Ah, baik-baik saja kok bu. Tidak ada kelainan," kata dokter. Perawat yang mendampingi juga menyampaikan hal yang sama.