Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Selamat Hari Guru, Bunda"

25 November 2020   23:17 Diperbarui: 26 November 2020   04:58 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Karenanya, kegiatan pembelajaran jarak jauh ditiadakan. Para wali kelas menginformasikan hal ini di group.

Anak-anak diminta untuk mengikuti upacara peringatan Hari Guru Nasional di Youtube Channel yang menghadirkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, seraya menyertakan tautan link Youtube dan surat edaran terkait peringatan Hari Guru Nasional. 

"Nanti pukul 08 00 saksikan di Chanel YouTube ya Nak. Memakai seragam putih merah. Kirim foto kegiatannya ya Bun ketika anak menyaksikan Chanel YouTube," pesan wali kelas 3B di group.

Namun, ada yang tak biasa di hari ini. Anak-anak mengucapkan selamat Hari Guru kepada saya di saat saya sedang menyelesaikan satu ketikan.

"Selamat Hari Guru Bunda," kata anak-anak saya -- Putik Cinta Khairunnisa dan Annajmutsaqib, seraya mencium punggung tangan saya. Si bungsu, Fattaliyati Dhikra, hanya mengekor saja.

"Lho kok? Bunda kan profesinya bukan guru. Jadi ucapan itu lebih tepat disampaikan kepada guru," kata saya heran.

"Ya nggak apa-apa, bunda juga guru kok," jawab anak saya. Saya pun mengucapkan terima kasih dan memeluk anak-anak saya.

Saya tidak tahu apakah anak-anak mengucapkan hal itu karena mendapat tugas dari gurunya? Entahlah, dan saya juga tidak bertanya.

Soalnya kalau si kecil ditugaskan demikian pasti saya tahu karena segala kegiatan dan informasi diinfokan melalui hp saya. Sementara kedua kakaknya di hp masing-masing.

Tadi siang, saya menghadiri agenda pekerjaan saya. Sambil menunggu acara dimulai, teman saya cerita jika anaknya mendapat tugas dari wali kelasnya untuk memberikan surat ucapan Selamat Hari Guru kepada ibunya.

Ia juga sempat bingung kenapa anaknya mendapatkan tugas seperti itu, padahal sama seperti saya, profesinya bukan seorang guru. Tugas memberikan surat ucapan itu harus difoto dan dikirimkan ke gurunya.

"Kak, bunda kan bukan guru, kok suratnya dikasih ke bunda?" cerita kawan saya. Tapi karena tugas sekolah dan fotonya harus dikirim by WA ke Wali Kelas ya sudah deh akhirnya ia pun berpose. Ia pun memperlihatkan foto yang dimaksud.

Di angkot, seusai mengikuti agenda saya, saya mendengar cerita dari penumpang yang ngobrol bersama kawannya. Ibu itu bercerita tadi pagi dia ditelepon anaknya yang berumur 6 tahun yang tinggal di Medan bersama neneknya.

"Lucu deh bu, anak saya telepon sambil bilang Selamat Hari Guru, Mami. Saya bilang ke anak saya, lho ... mami kan bukan guru. Tapi anak saya bilang, nggak apa-apa mami juga guru, hehe ..." kata si ibu sambil terkekeh.

Cerita yang bukan tanpa kebetulan dong ini. Saya, kawan saya, dan ibu itu mengalami hal yang sama. Kok bisa sama ya?

Tadinya saya tidak paham. Setelah saya pikir-pikir baru saya paham mengapa anak-anak mengucapkan Selamat Hari Guru pada orangtuanya, terutama ibu karena ibulah guru pertama bagi anak-anaknya memulai kehidupan di dunia ini.

Dan, itu semakin dikuatkan selama kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, ketika anak-anak school from home (SfH) atau belajar dari rumah (BdR) kebanyakan guru mereka siapa lagi kalau bukan ibu yang menjadi "guru dadakan".

Menjadi guru yang sebelumnya tidak terbayangkan. Menggantikan posisi guru di sekolah dan harus mengajarkan berbagai mata pelajaran. Kemudian mengirimkan proses belajar kepada guru sekolah, baik berupa video maupun foto.

Selama proses pembelajaran saya harus dampingi anak saya, terutama si bungsu. Kalau kedua kakaknya masih bisa saya arahkan. Hampir tiap hari, saya memberikan bukti foto anak saya yang kecil mengerjakan tugasnya.

Sambil mengerjakan tugas, saya menerangkan terlebih dulu agar anak saya bisa mengerti. Terutama mata pelajaran Matematika. Terkadang saya harus mengesampingkan pekerjaan saya dulu agar saya bisa mendampingi anak saya.

Ya meski saat menjadi guru, ibu terkadang mengajarnya sambil nyerocos, termasuk saya. Ada juga yang kurang mengerti pelajaran si anak. Ada yang kurang menguasai gadget. Ada yang waktunya terbatas karena disambi dengan pekerjaan lain.

Seorang ibu tetap berusaha mendampingi anak-anak dalam mengerjakan tugas-tugas selama belajar dari rumah untuk mendukung SfH anaknya.

Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru. (wikipedia)

Kalau merujuk dari definisi ini, berarti saya termasuk guru juga, suami juga, siapa saja yang mengajarkan hal baru.

Dan, bagi saya, rumah adalah sekolah pertama sebelum anak mengenyam pendidikan di luar rumah. Di sini,  anak belajar pada ayah dan ibunya bagaimana cara makan, berjalan, mandi, berpakaian, berdoa dan banyak lagi dari anak-anak masih bayi hingga dewasa kelak.

Keluarga menjadi lingkungan utama dan pertama bagi anak untuk mendapatkan ilmu karena di keluargalah  pertama kali anak mendapatkan pendidikan.

Rasulullah saw. bersabda:
"Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah karena agamanya karena jika tidak binasalah kamu" (HR.Bukhari-Muslim)

Hadits ini menekankan betapa pentingnya peran seorang wanita dalam berkeluarga. Ia tak hanya akan mengurus dan berbakti kepada suaminya, melainkan juga mengasuh dan membesarkan anak-anaknya dengan kasih sayang dan bekal ilmu yang bermanfaat.

Ada rasa bangga juga saya dianggap guru di tengah keterbatasan saya. Seperti kawan saya yang juga bangga menjadi guru. Padahal, untuk menjadi guru itu tidak mudah. Terutama butuh kesabaran dalam mengajarkan berbagai ilmu.

Saya jadi paham mengapa menjadi guru sekolah itu tidaklah mudah. Saya harus menjadi "guru" terlebih dulu untuk bisa "mendalami" profesi itu. Seperti halnya saya baru merasakan bagaimana perjuangan ibu saya melahirkan saya ketika saya melahirkan anak-anak saya.

Karenanya, saya sangat mengapresiasi peran dan fungsi guru di sekolah. Guru ternyata luar biasa hebat. Semoga segala jasa para guru dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dibalas beribu-ribu kebaikan dari Allah SWT.

Akhir kata, saya ucapkan Selamat Hari Guru untuk bapak dan ibu yang berprofesi sebagai guru. Selamat Hari Guru juga untuk para ibu dan ayah yang menjadi "guru" bagi anaknya selama belajar dari rumah. Menjadi guru kehidupan anak-anak.

Semoga anak-anak kita menjadi generasi unggul, berakhlak, dan berkarakter untuk masa depan Indonesia yang lebih cerah dan lebih baik. Dan, ini tidak akan terwujud tanpa peran para guru. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun