Sabtu (24/10/2020) siang, ibu saya mengunjungi saya sambil membawakan oleh-oleh satu sisir pisang dan sebungkus bakso ikan khas Pelabuhan Ratu.
Ya, ibu saya baru saja pulang dari Cibadak, Jawa Barat, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Di sinilah, ibu saya menghabiskan masa kecilnya hingga tumbuh dewasa. Saya sempat beberapa tahun tinggal bersama kakek nenek saya saat saya kecil.
Ayah ibu saya (alhamarhum kiking, sebutan kakek) memiliki lahan yang cukup luas yang sudah dibagikan ke anak-anaknya. Ibu saya anak pertama dari 6 bersaudara.Â
Adik ibu saya yang pertama, yang berarti bibi saya menanami pohon pisang di sisa lahannya. Pisang inilah yang dibawa sebagai oleh-oleh ibu saya. Bibi saya pulalah yang menebang pohon pisang.
Namanya pisang angleng. Kata ibu saya, jenis pisang ini bisa disantap dalam beragam cara: digoreng, dikolak, dikukus, dibikin kue, bahkan dimakan langsung.
Jenis pisang ini kalau saya perhatikan mirip pisang Ambon, tapi bentuknya agak panjang dan ramping. Aroma wanginya khas. Tapi agak susah untuk dipetik pakai tangan, jadi perlu bantuan pisau untuk memotongnnya. Ya copot juga sih meski dipetik pakai tangan tapi ujung pisang bisa bonyok.
Saya pun memutuskan untuk menggoreng pisang ini mengingat suami dan anak-anak saya penyuka pisang goreng. Sekalian saya jadikan juga hidangan camilan untuk ibu saya.
Setelah kulit pisang saya kupas, saya potong menjadi beberapa bagian, lalu saya masukkan ke dalam adonan tepung terigu.
"Kalau bisa tambahin dengan tepung beras, biar krispy, kasih garam dikit," kata ibu saya dalam bahasa Sunda, yang kini berusia 75 tahun.
"Tepung beras nggak ada, adanya terigu," kata saya, yang dijawab ibu saya, "Ya sudah nggak apa-apa".