Ini adalah obat Samarium-153 EDTMP (etilen diamin tetra metil fosfonat) hasil inovasi Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTRR) Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Obat ini untuk terapi paliatif kanker bagi pasien atau penyintas kanker.Â
Hebatnya, inovasi tersebut masuk ke dalam Top 45 Inovasi Layanan Publik dalam Kompetisi Inovasi Pelayanan Publik (KIPP) yang diselenggarakan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN RB) pada Juli lalu. Batan sendiri lembaga yang berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.
Selasa (20/10/2020) tadi saya pun berkesempatan mengunjungi PTRR Batan yang berada di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Kawasan ini juga berada di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi.
Saya tidak sendiri. Ada sekitar 10 kawan yang juga mendapatkan undangan dari Masyarakat Penulis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Mapiptek) -- komunitas yang saya ikuti, bekerjasama dengan Batan untuk mengetahui lebih dekat hasil-hasil inovasi PTRR Batan, khususnya terkait pengobatan kanker.
Sebelum mengunjungi PTRR, kami disambut Kepala Batan Prof. Dr. Ir. Anhar Riza Antariksawan beserta Kepala Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka, Dr. Rohadi Awaludin dan Kepaala Bagian Humas BATAN Purnomo.
Dalam kesempatan itu, Bapak Anhar menjelaskan, teknologi nuklir telah dimanfaatkan di berbagai sektor kehidupan, salah satunya kesehatan. Pemanfaatan radioisotop di bidang kesehatan telah banyak dirasakan oleh masyarakat, khususnya bagi penyintas kanker.Â
Namun, sayangnya, Radioisotop dan Radiofarmaka di Indonesia saat ini masih didominasi oleh produk impor, padahal Indonesia memiliki kemampuan untuk memproduksi sendiri. Â
Terlebih Reaktor Serbaguna yang kita miliki kapasitasnya lebih besar daripada reaktor yang ada di Australia, tapi Australia menjadi salah satu negara produsen radioisotop terbesar di dunia.Â
"Inilah yang sedang Batan upayakan, yaitu agar angka impor yang tinggi bisa kita turunkan," katanya.Â
Mengapa Batan begitu konsern pada penanganan penyakit kanker karena prevalansi kanker di Indonesia meningkat cukup tinggi.Â
Berdasarkan Survei Kesehatan Kementerian Kesehatan pada 2013 -- 2018 penderita kanker cukup tinggi. Jika pada 2013 ada 1,4 per 1000 penduduk menjadi 1,8 per 1000 penduduk, atau naik sekitar 30 persen. Mayoritas penderita kanker di Indonesia terdeteksi sudah pada stadium lanjut.