"Dalam rapat tadi sore disimpulkan kita akan menarik rem darurat, kita terpaksa kembali menerapkan pembatasan skala besar seperti masa awal pandemi. Bukan PSBB transisi, tapi PSBB sebagai mana masa dulu. Ini rem darurat yang kita tarik. Maka, dengan melihat kedaruratan ini tidak banyak pilihan Jakarta menarik rem darurat sesegera mungkin," ujar Anies dalam konferensi pers digelar secara daring, Rabu (9/9).
Kebijakan PSBB yang kemudian dilanjutkan PSBB transisi memang menjadi salah satu upaya Pemprov DKI untuk menekan laju penyebaran virus corona. Namun, faktanya dalam beberapa hari terakhir, justru jumlah kasus positif Covid-19 mencatatkan rekor penambahan tertinggi.
Karenanya, Anies Baswedan kembali memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) total mulai Senin, 14 September 2020. Orang-orang menyebutnya dengan PSBB jilid II.
Keputusan Anies dengan menarik tuas rem mendadak ini, jelas menimbulkan kegaduhan, mirip kegaduhan di dalam kereta saat ada yang menarik tuas rem mendadak.Â
Ada yang marah, ada yang menangis, ada yang mengaduh karena terbentur sesuatu. Semua bercampur menjadi satu. Tapi, Alhamdillah semua penumpang tidak mengalami cedera yang berarti. Nyawanya masih selamat.
Nah, seperti itulah saya membaca upaya yang dilakukan Anies untuk menyelamatkan banyak nyawa manusia. Meski terkesan baru siuman atas alarm bahaya, setidaknya Anies berusaha menjaga jangan sampai angka kasus positif dan angka kematian bertambah. Yang bisa jadi, ia akan menjadi sasaran kemarahan atau dibully masyarakat.
Gara-gara banyak masyarakat dan perusahaan yang tidak mengindahkan protokol kesehatan Covid-19 memaksa Anies mengambil keputusan yang tidak populis. Ibarat pepatah "karena nila setitik rusak susu sebelanga".Â
Daripada banyak nyawa yang melayang oleh lawan yang tidak kasat mata, ya lebih baik lebih baik. Anies pun tak memikirkan dirinya yang terus menjadi sasaran bully atas keputusannya itu.
Dan ini berarti, semua orang akan kembali ke rumah. Bekerja dari rumah, beribadah dari rumah (MUI juga sudah mengimbau untuk beribadah dari rumah), belanja dari rumah.Â
Aktifitas bekerja, berproduksi, berbelanja, dan ekonomi lainnya dipaksa berhenti kembali. Kondisi ini tentu akan berdampak luas kepada perekonomian mengingat DKI Jakarta menjadi pusat penopang perekonomian Indonesia.
Bagi saya, keselamatan dan kesehatan masyarakat lebih penting daripada lebih mengutamakan pemulihan perekonomian. Ya karena percuma juga, perekonomian menggeliat tetapi jumlah pasien positif Covid-19 meningkat. Uang akan terkuras juga untuk menangani yang sakit. Belum lagi penularannya yang masif.