wajah masamba berduka, bencana datang tak bisa disangka, banjir bandang menorehkan luka, kala senyum dan tawa jenaka, berubah tangisan dan jeritan belaka, tak pandang apakah kau orang terkemuka.
sedih jelas terpancar dari raut muka, saat mayat bergelimpangan bagai boneka, ada yang tertindih pohon nangka, ada juga tertimbun lumpur yang sulit diseka, dan rumah-rumah yang tinggal kerangka.
"di mana gadisku, kartika? ke mana anakku, andika?" terdengar teriakan dari mulut mereka, tak peduli suara gemuruh di langit terbuka, ketika alam tak lagi seindah alunan harmonika.
musibah ini bukan karena sang pencipta murka, karena melihat banyak yang berbuat durhaka, sehingga tuhan tega membiarkan manusia celaka, dan terjerembab dalam malapetaka.
renungkanlah dan buang semua prasangka, mungkin kita hanya diminta untuk lebih peka, tidak lagi melanggar etika, kala mengingat tuhan mulai langka, dan beribadah bukan sekedar bilangan angka.
ke siapa lagi kita minta suaka, selain kepada tuhan yang baka, berserah dirilah seluruh jiwa jika, ingin merasakan kenikmatan surgaloka, semoga kita kembali merdeka, dari musibah yang beraneka...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H