Enam belas tahun sudah Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) belum juga disahkan menjadi undang-undang. Perjalanan yang cukup panjang nan melelahkan. Menguras banyak waktu, energi, biaya, dan pikiran.Â
RUU Perlindungan PRT sebenarnya sudah ada sejak 16 tahun lalu yaitu dimulai pada 2004 dan sudah menjadi prioritas DPR sejak 2010-2014. Namun, selama 16 tahun itu pula nasib RUU tersebut "terkatung-katung" bak layangan putus.
Waktu 16 tahun itu sama lamanya dengan usia pernikahan saya. Selisih dengan anak pertama saya saja cuma 1 tahun. Berarti anak saya dan RUU PPRT itu bagaikan "adik kakak". Kalau diibaratkan anak saya, "usia" 16 tahun itu masa-masa indahnya remaja. Lantas apa yang bisa dirasakan "indah" oleh RUU PPRT?
Meski "digantung" dan "terkatung-katung" sekian lama oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), organisasi perempuan -- Â Komnas Perempuan, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), Maju Perempuan Indonesia, Â Koalisi Perempuan Indonesia, dan Kongres Wanita Indonesia (Kowani), yang mengawal perjalanan RUU PPRT kini bisa sedikit bernapas lega.Â
Mengapa? Karena RUU PPRT saat ini sudah menjadi RUU usul inisiatif DPR pascadisetujui Badan Legislasi (Baleg) DPR pada rapat Panja RUU PPRT, Rabu (1/7/2020). Jika sudah ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, maka terbuka jalan agar RUU tersebut dibahas secara bersama-sama dengan pemerintah. Dan, semakin besar peluang untuk segera disahkan menjadi undang-undang saat digelar rapat paripurna membahas RUU PPRT pada 13 Juli 2020. Ya, bisa menjadi suatu keniscayaan!
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo, M.Pd, sangat berharap RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga segera menjadi UU. Selama 16 tahun "mengawal" Kowani terus memperjuangkan agar segera disahkan menjadi undang-undang. Kowani begitu peduli karena sebagai perempuan sering menjadi korban diskriminasi.Â
"Dalam dunia kerja dan sosial masih ada sikap dan pandangan serta penghargaan kodrati perempuan yang dimarginalkan terutama sebagai Pekerja Rumah Tangga," tuturnya saat menyampaikan pandangannya dalam pertemuan daring "RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Jelang Rapat Paripurna DPR 2020, Minggu (5/7/2020). Pertemuan yang saya ikuti ini juga dihadiri perwakilan dari organisasi-organisasi perempuan.
Diskiriminasi yang dimaksud tak lain dan tak bukan terkait cara pandang masyarakat terhadap PRT. Selama ini masyarakat (mungkin juga saya) mengartikan PRT sebagai pembantu rumah tangga atau asisten rumah tangga, bukan pekerja rumah tangga.Â
Adanya pandangan ini karena PRT lebih banyak dianggap sebagai pekerja domestik, yang sifatnya membantu keluarga. Padahal penyebutan "pembantu" ini secara tidak langsung merendahkan harkat dan martabat dirinya sebagai manusia dan sebagai perempuan.Â
"Ya kan aneh pekerja asing yang bekerja di sini dilindungi, sementara pekerja rumah tangga kenapa tidak?" ucap Giwo yang pernah menjabat Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini. Terlebih lagi jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta. Dari angka ini 84 persennya adalah perempuan dan sebanyak 14% dari angka tersebut anak di bawah usia 18 tahun. (data Survey ILO). Â Dari angka itu, sekitar 60-70% dari 9 juta pekerja migran Indonesia di luar negeri juga berprofesi sebagai PRT (Bank Dunia, 2017).
"Kami ingin PRT tidak ditinggalkan. Kehadiran PRT dalam kehidupan keluarga sangat penting. Karena PRT lah, banyak perempuan bisa berkarya di publik, bahkan menjadi pemimpin. Tanpa ada dukungan PRT di rumah, keluarga akan mengalami kesulitan dalam urusan domestik, apalagi bagi pasangan suami istri yang bekerja di ruang publik," tegasnya.Â