Mohon tunggu...
Tety Polmasari
Tety Polmasari Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga biasa dengan 3 dara cantik yang beranjak remaja
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas, insyaallah tidak akan mengecewakan...

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"New Normal", Apakah Benar-benar Keputusan Tepat?

12 Juni 2020   09:00 Diperbarui: 17 Juni 2020   08:17 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih penasaran, sebenarnya apakah kita benar-benar sudah siap menjalani fase "new normal" atau "kenormalan baru"? Jelas saya penasaran karena setiap hari saat Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menginformasikan data terkini mengenai Covid-19, selalu saja ada penambahan pasien positif. Tidak tanggung-tanggung. Angkanya bukan lagi puluhan atau ratusan kasus lagi, melainkan hingga ribuan!

Hingga 10 Juni lalu saja ada penambahan pasien positif Covid-19 sebanyak 1.241 kasus, hingga total terdapat 34.317 kasus, yang tadinya di awal Maret hanya ada 2 kasus. Yang menjadi pertanyaan saya, mengapa di saat data-data pasien positif cenderung tidak landai, kok pemerintah berani-beraninya menerapkan fase new normal? Padahal para epidemiolog sudah mewanti-wanti Indonesia boleh menerapkan fase new normal jika kita sudah memiliki vaksin untuk mencegah terjadinya penularan.

Mengapa pemerintah "mengabaikan" saran para epidemiolog ini? Padahal mereka ini adalah pakarnya dalam menganalisis atau mempelajari tentang pola penyebaran penyakit atau kejadian yang berhubungan dengan kesehatan, serta faktor-faktor yang dapat memengaruhi keadaan tersebut. Yang sudah bisa membaca kemungkinan-kemungkinan yang terjadi jika new normal diberlakukan.

Apakah karena lebih mengutamakan pergerakan roda ekonomi dibanding menjaga benteng kesehatan masyarakatnya? Kalau menurut saya, justru pemerintah harus banyak mengeluarkan dana yang tidak sedikit jika semakin banyak masyarakat yang positif. Dana yang harus ditanggung tidak sebanding dengan nilai ekonomi yang didapatkan. Betul tidak? Bayangkan saja, untuk satu pasien positif Covid-19 saja bisa menghabiskan ratusan juta rupiah! Belum lagi kalau dirawat di rumah sakit rujukan Covid-19 yang dikelola swasta.

Presiden memang sudah menetapkan pandemi virus corona sebagai bencana nasional. Dan, itu artinya pemerintah akan membiayai seluruh pasien Covid-19 yang menjalani rawat inap di rumah sakit maupun rawat jalan. Dengan kata lain pasien, tidak usah membayar ke rumah sakit, karena akan dibayarkan oleh negara.

Berdasarkan aturan satuan biaya penggantian untuk biaya perawatan pasien Covid-19 yang dibuat Kementerian Keuangan (Kemkeu) yang tertuang dalam lampiran Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK.02/2020 Tanggal 6 April 2020, untuk satu orang pasien Covid-19, negara bisa mengeluarkan biaya hingga 231 juta lebih. Belum kalau pasien yang dirawat mengalami komplikasi, biaya yang ditanggung negara bisa lebih dari itu. Coba dihitung berapa anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk pasien sebanyak itu?

Jadi, menurut saya, penerapan new normal ini justeru akan memunculkan persoalan baru, terutama menyangkut anggaran negara yang sama-sama kita ketahui sekarang ini dalam keadaan defisit. Harusnya, hirarki intervensi yang diutamakan adalah keamanan dan kesehatan masyarakat, baru masuk pada masalah ekonomi dan reputasi. Negara-negara lain saja menyelesaikan masalah keamanan dan kesehatan masyarakat dulu baru masuk pada masalah ekonomi, dan setelah itu reputasi.

Lha, di kita masalah kesehatan masyarakat saja belum tuntas kita sudah masuk pada sektor ekonomi. Untuk menciptakan wilayah aman kesehatan, agar tidak tertular bukannya kita harus menjaga batas wilayah? Supaya kita tidak jatuh sakit maka kita harus meningkatkan daya tahan tubuh? Agar tidak berakibat fatal harus ada intesifikasi pengobatan sehingga tidak meninggal. Rumit kan?

Di sisi lain, munculnya informasi-informasi "sesat" yang menyatakan Covid-19 ini tidak seberbahaya yang digembar-gemporkan tak urung membuat masyarakat mengabaikan protokol kesehatan Covid-19. Meski pemerintah sudah menginformasikan bahwa pelaksanaan new normal harus dibarengi dengan sikap kehati-hatian dengan tetap memakai masker dan menjaga jarak ketika di luar rumah, menghindari kerumunan, dan selalu cuci tangan, tetap saja banyak yang tidak mengindahkan himbauan ini.

Banyak juga yang "termakan hasutan" jika virus ini sejenis dengan virus yang membuat kita flu, pilek, dan penyakit tenggorokan lainnya. Sehingga terlihat banyak juga yang tidak memakai masker dan menjaga jarak saat di keramaian. Padahal, faktanya virus ini bisa menyebabkan kematian. Dari data-data yang disampaikan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa disimpulkan terbukti bahwa tansmisi covid 19 belum bisa dikendalikan.

Kalau memang sudah siap menerapkan fase "new normal" mengapa Presiden Jokowi mengingatkan semua pihak untuk waspada terhadap ancaman terus terjadinya kasus virus Covid-19. Bahkan, semua pihak diminta siaga adanya gelombang kedua penyebaran virus ini. Jokowi mengatakan, tugas besar pemerintah belum berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun