Mohon tunggu...
Isti
Isti Mohon Tunggu... Relawan - https://zonapsiko.wordpress.com

Not verified

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saat Saya Seusia Mereka, Tak Stres Begini

24 Februari 2015   07:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:37 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap melihat anak-anak kecil usia balita dan kanak-kanak awal saat ini, saya merasa bahwa dunia mereka penuh dengan rekayasa orang dewasa-tak senatural masa kecil saya dulu. Naturalnya, masa kanak-kanak adalah masa kebebasan untuk bermain tanpa khawatir dibebani banyak keharusan dan larangan ini-itu oleh orang tua. Masa kecil saya dulu lekat dengan alam; sungai, sawah, gunung, hujan, terik matahari, lumpur, dan beragam aktivitas atraktif lainnya.

Sekolah pun kami jalani dengan penuh kegembiraan-tanpa beban berarti dengan materi pelajaran yang nggak njlimet alias rumit. Tak ada les piano, les ngaji, les matematika, karate, balet dan lain-lain. Sekarang? Anak SD tasnya berat banget! Isinya penuh dengan buku tulis, buku paket, bekal makanan, baju ganti, macam-macam. Beban tas di punggung mereka melampaui batas normal! Maka saat ke sekolah, anak-anak kini seperti mau travelling satu minggu dengan menyeret koper yang ukurannya kadang lebih besar dari badannya!

Secara fisik, anak-anak sekarang rentan stres, apalagi psikisnya? Jadi ingat beberapa bulan lalu, ada sebuah berita online yang mengisahkan seorang gadis kecil usia 6 tahun yang stres masuk RSJ karena obsesi ibunya yang membebaninya dengan les ini-itu. Yang keluar dari bibir mungilnya kalau bukan bahasa inggris, konsep hitung, do’a-do’a, dan lainnya yang berkaitan dengan materi pelajaran. Sungguh malang nasib gadis kecil itu.

Tahukah kita? Tanpa kita membebaninya dengan segala aktivitas “mencerdaskan” seperti di atas kepada anak-anak, sesungguhnya mereka telah stres dengan lingkungan yang mereka tinggali. Gempuran budaya, tontonan murahan hingga berita sadis yang mestinya tak layak bagi mereka dapat mereka saksikan dan dengar langsung tanpa ada sensor. Teknologi dan Junkfood dijejalkan ke otak dan memori mereka.

Kini, ada banyak ‘jangan’ dan ‘harus’ yang penting untuk diingat anak-anak jika mereka ingin ‘selamat’, begitu kata orang tua mereka. “Sayang, kalau ada orang asing yang mendekat, jauhi ya!” “Nak, jangan bicara dengan orang asing ya!” “Yang, bagian tubuh ini, ini, ini nggak boleh dipegang orang, kalo yang ini boleh, ingat ya!” dan seabrek ‘jangan’. “Nak, harus tidur siang, nggak boleh nggak!” , “Sayang, kalau terpaksa beli minum di luar, sedotannya digunting ujungnya, bekas tangan penjualnya, takut kena virus!” Dan sederet “harus” lainnya. Begitu detiiiil kita menyetir anak-anak kita bahkan mulai dari soal jam makan, tidur, mandi, pakaian, berteman hingga soal pilihan minat dan cita-cita, kadang orang tua masih juga egois. Dunia ‘memaksa’ orang tua berpikir bahwa mereka perlu dan harus melakukannya.

Orang tua sering terlalu merasa penting dan perlu mengatur jadwal anaknya dengan beragam kegiatan ‘mencerdaskan’. Waktu anak digulirkan dari kursus satu ke kursus lainnya seolah tak rela anaknya ‘menyia-nyiakan’ waktunya untuk sekadar bermain. Jikapun anak diperbolehkan bermain, mata milik orang dewasa perlu mengawasinya, sepertinya tak ada dunia yang aman bagi anak-anak. Bahkan kini anak-anak harus hidup dengan mengenakan helm, sabuk pengaman, sepatu anti slip yang memang amat sangat berguna bagi mereka, tetapi haruskah mereka mengenakannya? Pesan implisitnya adalah; “kita harus melindungi diri sedemikian rupa, di luar berbahaya dan kita harus bisa mengendalikan semuanya!”

Orang tua harus bagaimana?

Sumber stres yang ada banyak di sekitar anak-anak kita mungkin tidak bisa kita hindari. Minimal kita bisa mengurangi tingkat stres pada anak melalui beberapa cara;

Berhenti untuk memadatkan waktu anak dengan beragam kegiatan yang menguras otak mereka. Beragam kursus dan les sambung-menyambung, bahkan jika itu menyenangkan bagi anak, tetap saja mereka seolah dipaksa untuk menjalani treadmill. Pikirkanlah bahwa secara alami, fisik dan psikis pun akan mengalami stres jika menanggung beban melebihi kesanggupannya, meski anak tidak merasakannya. Satu kegiatan dalam seminggu mungkin cukup bagi usia anak-anak. Selanjutnya meluangkan waktu satu atau dua kali dalam seminggu untuk melakukan kegiatan bermain atau refreshing. Kadang anak-anak hanya butuh kesempatan untuk dibiarkan sebentar menikmati perjalanannya dari sekolah menuju pulang bersama teman-temannya tanpa harus diburu-buru dan diawasi.

Menghadirkan rasa aman pada diri anak secara berkesinambungan. Contohnya melalui bahasa tubuh; rangkulan dan pelukan. Rangkulan dan pelukan orang tua akan sangat berarti bagi anak. Seringkali satu pelukan hangat tanpa kata lebih mampu menghadirkan rasa aman, tenang sekaligus kekuatan dibanding nasihat. Rasa aman akan menghadirkan rasa tenang dan bahagia. Anak yang diperlakukan hangat oleh orang tuanya memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan menjadi anak yang bahagia dan ceria. Berbagi cerita saat senggang atau menjelang tidur juga merupakan sarana yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan rasa aman dan nyaman sehingga anak mau terbuka, berbagi dan memecahkan masalah.

Mengembangkan cara penanganan stres. Bagaimana pun, orang tua bukanlah pemeran utama dalam menyelesaikan sumber stres anak. Diharapkan orang tua memiliki strategi agar anak dalam mengatasi masalahnya tidak tergantung kepada orang tua, melainkan ia mampu mengembangkan cara sendiri. Hmmm, anak sekecil itu, memangnya bisa? Kita jangan berpikir hal-hal berat, sebab seringkali perkara sepele mampu memberikan pelajaran berharga jika benar cara penanganannya. Sebagai contoh, saat anak kita mengadu memiliki masalah dengan gurunya di sekolah, orang tua jangan terburu-buru mengatakan; “ayah/ibu akan menemui gurumu sesegera mungkin!” Sebab terkadang, anak hanya ingin didengar atau mencari dukungan. Yang perlu dilakukan adalah menanyakan kepadanya apa yang akan ia rencanakan atau lakukan lalu menunggunya mengambil keputusan. Sikap ini memfasilitasi kepercayaan anak dan membantu mereka mengelola ketakutan dan kecemasan mereka.

Salam pagi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun