Kembali, entah kasus yang ke berapa kalinya, orang tua membunuh anaknya. Di Solo, Jum’at (20/3) seorang ayah –Oktavianus Cahyo S. tega membunuh puteri semata wayangnya Claudia. Ia mengajak anaknya mati bunuh diri bersamanya dengan menabrakkan diri ke badan kereta api yang tengah melaju kencang. Diduga, alasan sang ayah bunuh diri dan membunuh puterinya karena ia gagal mendapatkan hak asuh setelah sebelumnya, sang puteri tinggal bersamanya. Entah rasa cinta yang bagaimana yang dimaknai sang ayah sehingga ia tega membunuh puterinya untuk ikut mati bersamanya.
Â
Kisah lain, beberapa tahun yang lalu, Bandung geger. Kita dikagetkan dengan kasus pembunuhan 3 orang anak oleh Anik-ibunya sendiri. Kasus ini menyedot perhatian publik mengingat latar belakang si ibu yang dalam kesehariannya berpenampilan dan berperilaku relijius serta lulusan sebuah perguruan tinggi ternama di Bandung-Jawa Barat. Tak ada yang menyangka jika sang ibu akan melakukan perbuatan keji. Tak ada perasaan sedih dan kecewa saat ia mengakui bahwa ia pelaku pembunuhan tersebut. Ia mengatakan bahwa ia terpaksa membunuh ketiga anaknya karena ia merasa gagal mejadi ibu yang baik bagi mereka sehingga ia takut tidak akan mampu membahagiakan anaknya, ia mengkhawatirkan masa depan mereka.
Â
Kisah mistis yang melatarbelakangi pembunuhan anak oleh ibunya terjadi di Tasikmalaya, setahun sebelum kasus Bandung. Dituturkan bahwa sang ibu-EN mengalami gangguan jiwa-paranoia (halusinasi). Sang ibu mengaku bahwa ia mendapat bisikan gaib yang memerintahkannya untuk menggorok leher puterinya. Sebelumnya EN sempat menjalani perawatan untuk gangguan jiwanya namun tidak berkelanjutan.
Sementara itu, kisah serupa terdengar dari Negeri Cina. Sepasang orang tua meminta kepada dokter sebuah rumah sakit yang selama ini merawat balitanya-Xiong Junyi agar segera mengakhiri penderitaan anaknya melalui euthanasia (suntik mati). Anaknya yang berumur 18 bulan, menderita kerusakan otak yang sangat parah dan setelah sebulan lebih menjalani pengobatan di RS, tak ada perubahan berarti. Orang tua tidak tega menyaksikan anaknya yang begitu menderita; hanya berbaring dengan lilitan selang di badannya, tak bisa bergerak, berbicara, dan kesulitan bernafas. Kendala lainnya adalah soal ekonomi. Meskipun akhirnya, permintaan keduanya ditolak karena euthanasia ilegal di Cina.
Â
Itu hanya sedikit saja dari banyak fenomena yang memprihatinkan. Kita mungkin bertanya-tanya, mengapa hal itu bisa terjadi? Orang tua macam apa yang tega membunuh anaknya sendiri? Apa sebenarnya motif para orang tua melakukan itu? Apakah memang karena faktor gangguan kejiwaan seperti paranoia/halusinasi, atau hal lainnya?
Â
Sebuah penelitian
Penelitian yang dilakukan oleh Philip J. Resnick dan tim memberikan sebuah gambaran terkait fenomena membunuh-bunuh diri yang dilakukan orang tua terhadap anak. Dari apa yang diamati oleh Resnick dan tim melalui penelitiannya, mereka akhirnya menyimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kasus pembunuhan-yang diikuti dengan bunuh diri atau tidak oleh orang tua terhadap anaknya. Beberapa faktor tersebut adalah; 1) altruistik, 2) psikotik akut, 3) pembunuhan anak dengan sengaja (penganiayaan fatal), 4) anak yang tidak diinginkan, dan 5) balas dendam kepada pasangan.
Â
Pembunuhan altruistik adalah pembunuhan yang dilakukan atas dasar rasa cinta orang tua kepada anaknya. Pembunuh meyakini bahwa dengan mengakhiri hidup anaknya, ia membantu anaknya keluar dari segala penderitaan. Kondisi menderita ini bisa saja memang riil dialami anak-anak (ekonomi sulit, sakit parah) atau sebenarnya hanya ilusi dan ketakutan-ketakutan pikiran orang tua saja bahwa nanti anaknya akan menderita dan kesulitan hidup. Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi pada kasus pembunuhan anak di Bandung, di mana sang ibu ketakutan bahwa ia tidak mampu membahagiakan anak-anaknya di masa depan mereka kelak. Maka karena rasa cintanya kepada anak, Anik tidak ingin melihat anaknya kelak menderita. Jalan satu-satunya adalah dengan memperpendek usia hidup mereka. Begitu pula yang terjadi pada kasus permintaan tindakan euthanasia di Cina, di mana orang tua amat mencintai anaknya dan karenanya tak tega melihat anaknya menderita akibat sakitnya.
Â
Berbeda dengan altruistik, pada pembunuhan psikotik akut, yang melatarbelakanginya adalah kondisi mental orang tua dalam pergolakan psikosis akut seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan anak di Tasikmalaya. Di mana alasan sang ibu membunuh puterinya karena mendapat bisikan gaib agar ia menggorok leher anaknya. Gangguan mental yang dideritanya membuatnya labil dan mudah mengalami halusinasi-merasa ada yang membisikinya.
Bagaimana dengan pembunuhan yang disengaja? Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa pembunuhan yang disengaja terjadi sebagai akibat dari kekerasan terhadap anak atau penelantaran. Mungkin kita masih ingat kasus ayah yang menyiksa anaknya hingga meninggal karena rebutan baju? Ayah yang membekap wajah balitanya hingga tewas hanya karena tak tahan mendengar suara tangisnya? Dan banyak lagi potret buram itu.. Ya Tuhan... saya tak sanggup meneruskannya.
Â
Lalu apa motif di balik kisah bunuh dirinya Cahyo dan Claudia? Sebagaimana dijelaskan bahwa ia merasa kecewa dengan keputusan pengadilan yang memberikan hak asuh Claudia kepada ibunya, sementara selama ini puterinya tinggal bersamanya. Altruistik! Mungkin itu penyebabnya. Sebab informasi dari keluarga, bahwa Cahyo teramat mencintai puterinya itu, maka ia mungkin tidak ingin Claudia menderita jika harus tinggal bersama ibunya. Ia tak rela meninggalkan Claudia menjadi seorang yatim, karenanya ia pun mengajak serta Claudia untuk mati bersamanya. Kemungkinan kedua, Cahyo tidak rela mantan isterinya bahagia tinggal bersama puterinya. Cahyo berpikir, jika ia tidak bisa memiliki Claudia, mantan isterinya pun tidak. Mungkin Cahyo menyimpan dendam dan amarah kepada mantan siterinya.
Â
Untuk kasus pembunuhan karena anak yang tidak diinginkan, kita pun kerap kali mendengar dan membaca beritanya. Hal ini terjadi umumnya pada orang tua si bayi yang hamil di luar nikah, ketidaksiapan dengan kehadiran anak, atau faktor lainnya. Mungkin jika terungkap, dalam hitungan detik ada banyak bayi yang harus menemui ajal di tangan orang tuanya sendiri karena kehadirannya tidak diinginkan. Sungguh perbuatan biadab bila dibandingkan dengan pembunuhan altruistik dan psikotik akut, sebab membunuh bayi yang tak diinginkan, dan disengaja, dilakukan dalam kondisi sadar-tak ada halusinasi.
Â
Pelaku perlu dibantu
Mereka, para pelaku pembunuhan dan bunuh diri sesungguhnya dalah orang-orang yang perlu mendapatkan pertolongan. Mental mereka terganggu. Mereka butuh orang-orang dekat yang peduli dan memahami kegundahan mereka, kesusahan hati mereka. Cahyo, Anik, EN, orang tua Xiong Junyi, dan banyak lagi lainnya yang senasib, sebenarnya hanya butuh bahu untuk bersandar, butuh telinga untuk mendengar, butuh mulut untuk menguatkan, butuh tangan untuk meneguhkan, dan butuh hati untuk memahami, merasakan, dan mengerti. Agar mereka tak merasa sendiri menanggung beban hidup ini.
Â
Ketika melihat keanehan pada sikap dan perilaku orang terdekat, kita harus peka dan mengambil tindakan atau mencari solusi. Mengajaknya mengunjungi dokter, psikolog, atau psikiater akan sangat membantu kita untuk mengetahui dan memahami apa sebenarnya yang terjadi. Mari kita tumbuhkan rasa empati, rasa peduli kepada sesama di sekitar kita. Peka dengan kesusahan dan penderitaan orang-orang di sekitar kita.
Salam prihatin
Â
Referensi:
Anik yang relijius bunuh ketiga puteranya
Tak tega, orang tua minta euthanasia bagi balitanya
Jurnal penelitian Resnick & Team
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H