Apa kabarnya kasus penembakan Bripka Sukardi yang mengakibatkan nyawanya melayang? Sepertinya hingga hari ini, belum ada kesiapan pihak kepolisian untuk menyatakan siapa dan apa motif di balik penembakan tersebut. Akhir –akhir ini aparat kepolisian tengah menjadi sasaran tembak pembunuh misterius. Semacam rangkaian teror dan pembunuhan berantai di film-film, yang nama-namanya telah tertulis dalam daftar milik pelaku pembunuhan.
Hal ini kemudian memunculkan berbagai spekulasi di kalangan masyarakat luas terkait dua pertanyaan di atas. Ada anggapan dan penyimpulan sebagian orang bahwa tindakan pelaku dipandang sebagai sesuatu yang pantas untuk dimaklumi. Pendapat mereka didasarkan pada asumsi, buruknya penegakan hukum oleh aparat kepolisian. Penembakan ini dinilai sebagai bentuk perlawanan atas kondisi tersebut, dan diharapkan menjadi shock therapy bagi kepolisian. Maka, pelaku bagi kelompok ini adalah Robin Hood - pahlawan bagi rakyat.
Pendapat berseberangan muncul dari sebagian lainnya. Mereka mengutuk pelaku penembakan ini atas nama kemanusiaan. Bahwa, tidak ada pembenaran bagi pelaku pembunuhan dengan dalih apa pun. Maka, pelaku pembunuhan bagi kelompok ini mendapat julukan pembunuh berdarah dingin atau mungkin psikopat.
Tulisan ini tidak sedang mereka-reka kepribadian atau moralitas pelaku penembakan tersebut, melainkan untuk sedikit menggambarkan moralitas seseorang terkait penilaiannya terhadap pelaku penembakan beradasarkan argumen yang mendasari pemilihan sikapnya.
Moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Saat ini, batasan moralitas ini cenderung menjadi bias, tak ada lagi hitam dan putih sebagai sesuatu yang mutlak, wilayah abu-abu lah yang pada akhirnya banyak dijumpai.
Adalah Kohlberg seorang arsitek teori perkembangan kognitif yang sangat provokatif tentang perkembangan moral. Ia melihat moralitas sebagai sesuatu yang kompleks dan dapat menimbulkan dilema moral. Dari kasus penembakan Bripka Sukardi yang menghilangkan nyawanya, dimana pelaku pembunuhan masih misterius, muncul berbagai pertanyaan;
‘Haruskah pelaku menembak Bripka Sukardi?”
“Apakah penembakan itu merupakan perbuatan yang benar atau salah, mengapa?”
“Apakah memang, pelaku berhak menembak Bripka Sukardi atas nama dendam, mewakili masyarakat ketika aparat polisi dikatakan mandul dalam penegakan hukum, dan alasan-alasan lainnya?,
“Apakah seseorang yang baik akan melakukan penembakan?”
“Apakah aparat kepolisian yang justeru jahat, yang seharusnya membela kepentingan rakyat tetapi tidak berpihak kepada rakyat kebanyakan?”
Pertanyaan-pertanyaan ini yang kemudian melahirkan konsep abu-abu.
Sekarang mari kita lihat beberapa penalaran bagi masing-masing pihak (yang pro penembakan dan anti penembakan) dalam tahapan-tahapan moralitas Kohlberg:
1. Moralitas heteronen
Pro : pelaku memang pantas melakukan penembakan untuk memberikan peringatan atau shock therapy bagi institusi kepolisian.
Kontra : Pelaku bisa ditangkap dan dipenjara
2. Moralitas individualisme, tujuan instrumental, dan pertukaran
Pro : Jika pelaku tertangkap, ia bisa mengemukakan alasan penembakan yang dilakukannya dan menyatakan permohonan maaf dan penyesalan. Kalaupun dihukum, tidak akan lama.
Kontra : Bripka Sukardi atau para aparat polisi adalah petugas yang memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan tegas dan represif sejauh itu diperlukan.
3. Moraltas ekspektasi interpersonal, personal mutual, hubungan dengan orang lain, dan konformitas interpersonal.
Pro : Pelaku hanya melakukan apa yang akan dilakukan setiap orang yang sudah tertekan dengan sepak terjang para penegak hukum, khususnya aparat kepolisian dan karenanya mungkin kalaupun dihukum sebentar saja.
Kontra : Bukanlah kewajiban pelaku secara individu untuk ‘menghukum’ aparat kepolisian yang kriminil.
4. Moralitas sistem sosial
Pro : Secara moral, penembakan yang dilakukan oleh pelaku tidak salah karena hukum yang berlaku dipandang tidak pro rakyat.
Kontra : Pelaku harus mematuhi hukum, karena hukum berfungsi untuk melindungi fungsi keteraturan dalam masyarakat.
5. Moralitas kontrak atau utilitas sosial dan hak individu
Pro : Pelaku boleh saja melakukan penembakan terhadap aparat kepolisian karena ia sesungguhnya tengah memperjuangkan hak-hak rakyat miskin yang selama ini sengaja diabaikan oleh mereka. Dan rakyat lebih berhak untuk hidup dalam keadilan dibandingkan hak kepolisian dalam kesewenang-wenangannya.
Kontra : Sangat penting untuk mematuhi hukum karena hukum mewakili struktur yang dibutuhkan dan merupakan persetujuan bersama jika seseorang hendak hidup dalam sebuah masyarakat.
6. Moralitas prinsip etis universal
Pro : Adalah menjadi hak asasi semua lapisan masyarakat untuk hidup dalam kerangka kedamaian, keadilan dan kesetaraan perlakuan hukum. Dan sekali lagi, hak-hak tersebut tidak diperoleh oleh sebagian besar rakyat kecil dan miskin.
Kontra : Nyawa manusia adalah sesuatu yang sakral dan merupakan prinsip penghormatan terhadap individu yang bersifat universal, hal ini melampaui nilai-nilai yang lain.
Pro-kontra dalam memandang kasus penembakan Bripka Sukardi dan aparat kepolisian lainnya, tentu tidak bisa dihindarkan ketika masing-masing memiliki argumen tersendiri. Hanya saja, yang membedakan tingkat moralitas dari kedua belah pihak bukan pada pilihan pro dan kontranya, melainkan pada argumen-argumen yang menjadi landasan pilihan sikapnya.
Sebagaimana argument pihak pro-kontra yang dipaparkan dalam poin-poin di atas. Dua poin teratas adalah tingkat moralitas terendah (prakonvensional) di mana nilai baik-buruk hanya didasarkan pada reward (imbalan) dan punishment (hukuman). Dua poin kedua adalah tipe moralitas tingkat menengah (konvensional), di mana penalaran terhadap sebuah masalah didaarkan pada standar nilai tertentu yang ditetapkan oleh pihak lain, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat. Sementara dua poin terakhir merupakan tipe moralitas tingkat tinggi (pascakonvensional), bahwa seseorang menyadari adanya jalur moral alternative lalu memutuskan berdasarkan kode moral personal. Ketika sebuah permasalahan dhadapkan pada hukum dan hati nurani, seseorang menalar bahwa, yang harus diikuti adalah hati nurani, meskipun keputusan itu dapat menimbulkan risiko.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H