“Kenapa sih, nggak mau pake ceker ayam, enak tau!”Demikian tanya seorang teman yang hobi makan mie ayam ceker saat kami makan siang. Beberapa teman sudah tahu tentang ketidaksukaan saya ini. Sebenarnya saya segan menjelaskannya sebab khawatir menurunkan selera makannya, saya hanya bilang“nggak suka aja.”Nggak tahu, saya geli membayangkan jari-jari ayam (apalagi bentuknya yang gendut) tersaji di mangkuk dan harus menelannya? Oh, noooo! Saya juga geli kalau harus makan kepala ayam, saya bayangin matanya, kepala gundulnya, mulutnya.. Hiii. Maaf, buat yang hobi mengonsumsi keduanya. Ini soal selera dan nilai yang tertanam di kepala saja.
Kita kerap menemui realitas di mana satu jenis makanan tertentu menghadirkan rasa muak di satu kultur tertentu, dapat dianggap menggiurkan di kultur lain. Saya kerap bergidik ketika menonton tayangan dokumenter atau reportase di televisi yang menayangkan orang-orang dalam sebuah budaya mengolah berbagai jenis makanan dari binatang yang menurut saya menjijikkan, seperti ‘gendon’ (entah apa namanya di daerah lain, seperti pacet hanya warnanya putih, gendut, dan melompat-lompat, hidup di dalam tanah) diolah menjadi tumisan atau pepes yang lezat, atau bekicot yang diolah menjadi aneka masakan seperti keripik, sate, gulai, dll.
Rasa neg dan jijik atau menarik dan menggiurkan terhadap jenis makanan tertentu bisa jadi karena pengkondisian dalam kultur di wilayah tertentu, dan diyakini selama bertahun-tahun dan turun-temurun. Atau bisa juga terjadi karena kultur yang ditanamkan dalam lingkup keluarga. Misalnya dalam keluarga saya, saya tidak suka buah durian dan daging kambing, maka sangat mungkin satu keluarga tidak menyukai buah durian karena jarangnya atau tidak pernahnya buah durian dihadirkan di rumah.
Selain kultur dan ketentuan ajaran agama yang diyakini dan tertanam kuat dalam pikiran penganutnya terkait jenis makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi, sebab lain yang menjadikan sebuah makanan tampak menjijikkan adalah faktor traumatik. Misalnya ketika hendak meminum susu, ternyata ada lalat atau kecoak di dalamnya. Meskipun kecoak dan lalat sudah dibuang atau bahkan susunya sudah diganti dengan susu dan gelas yang baru, bayang-bayang lalat dan kecoak selalu menghantui dan menghadirkan sensasi mual setiap melihat susu. Jadilah susu masuk ke dalam daftar makanan/minuman yang menjijikkan dan ‘haram’ dikonsumsi, padahal sifat dasar susu sebelumnya adalah netral.
Terjadi proses pengasosiasian (membayangkan) dalam memori kita saat dihadapkan pada jenis makanan tertentu. Respon jijik dan menggiurkan muncul dan kian menguat melekat di memori, tergantung dari asosiasi yang kita bangun atas beragam informasi yang kita terima tentang jenis makanan tertentu. Gendon, bekicot, ceker ayam dan makanan jenis lainnya yang diasosiasikan sebagai makanan yang gurih, manis, dan berkhasiat akan terdengar dan tampak menarik dan menggiurkan. Sebaliknya jika gendon dan bekicot diasosiasikan sebagai binatang yang bentuknya menggelikan, berlendir, akan terdengar sangat menjijikkan dan memunculkan rasa mual. Begitu juga dengan susu yang sebenarnya netral, menjadi menjijikkan karena kondisi traumatik tersebab kasus lalat dan kecoak yang belajar berenang di dalamnya.
Di sini, teori pengkondisian bekerja, dalam rasa yang diasosiasikan dengan miliaran makanan yang disantap setiap harinya, dalam ekspresi yang memengaruhi para penyantap ketika mereka makan, dalam asosiasi makanan, dan dalam asosiasi makan dengan beberapa konsekuensi yang diyakininya. Maka dapat dikatakan bahwa banyak hal yang kita sukai dan tidak, bahkan mungkin membuat kita kecanduan atau antipati, merupakan bagian dari pengkondisian yang secara sadar atau tidak, telah kita bangun.
Ngomongin soal makanan, nggak banget yak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H