Mohon tunggu...
Halimah As-Sa'diyah
Halimah As-Sa'diyah Mohon Tunggu... -

Menjadi Pembelajar :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta dari Syurga

25 Desember 2011   04:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:47 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku kadang tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh mama, bahkan kadang juga aku tidak mau mengerti. Pikirku, aku memang anak tidak tahu diri. Masa bodoh dengan masalah mama, EGP dengan kekhawatiran mama dan bahkan dengan do’a yang seadanya saja ku panjatkan usai shalat.

Entah usia atau apa yang mempengaruhiku akhir-akhir ini. Aku berusaha mencari tahu, ingin apa begitu kuat dalam diri mama. Aku ingin menanyakannya, tapi urung. Merasa malu. Lucu juga ya, ada anak yang merasa malu bertanya apa yang diingini oleh mamanya. Ya! Itulah aku. Kadang malu, sering pula memalukan.

Suatu kali mama pernah bertanya tentang gajiku bekerja. Memang tiga bulan ini aku tidak lagi memberi mama uang dari hasil gajiku. Jika ditanya kenapa maka jawabku uangnya ku gunakan untuk membayar hutang. Mama juga terkaget-kaget memergokiku berhutang pada Abah. Tapi beliau tidak bertanya, hanya diam, mungkin tanyanya disimpan saja, dan aku juga tak ingin menjelaskannya, alasannya akupun tak tahu kenapa aku berhutang, padahal aku tak pernah kredit barang, aku juga tak membeli barang elektronik. Hartaku hanya buku dan jilbab.

Membelikan mama barang. Rasa-rasanya belum ada. Adanya rice cooker didapur, itupun untuk bersama. Ku lihat teras rumah yang bersemen da dtinggikan, itupun hasil urunan dengan kakak ke-11. Ku coba ingat-ingat lagi, seperempat abad aku hidup adakah barang atau apalah yang sengaja aku belikan untuk mama? Tak ada! Benar-benar tak ada! Astagfirullah..

Mama untukku. Selalu ada. Dari pakaian dalam sampai pakaian luar. Makan? Dari makanan kecil sampai juga pada beras nasi. Padahal mama tak punya gaji. Mama juga tak lulus SR (sekarang SD). Mama dulu petani, penjual ikan dipasar inpress, penjual nasi kuning di SD Dusun, lalu berjualan pakaian dipasar malam, dan sekarang berjualan sayur mayur didepan rumah. Tapi mama masih bisa membelikanku baju gamis, sandal, atau kue sepulang dari pasar.

Bagaimana jika aku tanpa mama? Ini pertanyaan yang menakutkan beberapa bulan ini. Bukan karena mama sakit-sakitan, mama masih segar bugar. Tapi pertanyaan ini bergelayut terus dibenakku. Aku memperhatikan dijalan ketika berangkat bekerja, seorang Ibu lansia berjalan berjualan kue dengan baki diatas kepalanya. Kadang aku ditemui ibu-ibu lansia lainnya yang meminta belas kasih barang seribu rupiah dibalik kaca pintu kantor. Bahkan aku sering mendapati Ibu-ibu lansia dengan kerutan wajah melebihi mamaku berjualan buah dipinggir jalan. Aku bersyukur mereka bukan mamaku. Aku bersyukur mama masih sehat. Aku bersyukur mama seorang pekerja keras. Aku bersyukur saat aku pergi dan pulang bekerja aku masih bisa melihat mama memegang tasbihnya dan berdzikir.

Sosok mama. Aku tak tahu jika tanpa mama. Membayangkannya aku tak berani. Tapi aku tahu dan pernah merasakan degup jantung yang teramat cepat dan keringat yang mengalir deras pada gadis kecil dipangkuannku. Saat itu umurnya sekitar 4 tahun. Aku tak tahu apakah ia memahami arti ditinggalkan selamanya. Ia keponakanku.

Aku menangis lunglai saat rapat  dikampus ketika menerima kabar via telpon dari kakak ke-9 bahwa kakak iparku meninggal. Aku menangis. Sedih dan terpuruk. Sesampai dirumah aku mencari ketiga keponakanku. Yang berumur 2 minggu dientah dipangku siapa. Kucari 2 perempuan cilik, usia 6 dan 4 tahun. Ku dapati mereka tanpa air mata. Yang berumur 6 tahun berkaca, kubiarkan ia duduk disampingku didepan jenazah ibunya. Ia menangis, beteriak “Mamaaa! Mamaaaa! Mamaaaaa!”. Aku pilu. Ku minta ia berdoa. Sedikit tenang ia. Yang berumur 4 tahun ku pangku. Ku dekap ia. Ia hanya diam. Ku pandang wajahnya yang tegang dan berkeringat dan kurasakan detak jantungnya dan cepat. Ku rasa ia takut. Tapi tak menangis. Ku bacakan ayat al-Qur’an dan aku sesungukan.

Acil1, mama kenapa”

Aku bingung menjawab apa. Berderai air mataku kembali. Ku hentikan bacaanku.

“Lina.. mama Lina meninggal. Lina jangan sedih ya”

Bodoh sekali aku mengatakan itu, sementara air mataku meski ku usap dengan jilbab tetap saja mengalir deras.

“Mama , ngga’ bangun lagi ya cil?”

“Lina berdoa’a ya buat mama, dengerin acil baca do’a ya?”

Ku pinta ia dengan sepenuh hati. Entah ia mengerti atau tidak tapi ia menurut saja.

Kematian bisa datang kapan saja. Karena ia adalah takdir yang pasti. Bahkan lebih pasti dari jodoh sekalipun. Karena kematian adalah keniscayaan bagi yang hidup.

Mama pergi ketanah suci. Aku rindu tapi biasa saja. Aku yakin ia akan kembali bersama Abah. Tapi bagai mana jika mama pergi bersama malaikat Izrail? Tidak! Aku belum siap. Astagfirullah….

Dua bulan lalu  cucuku yang ke-5 lahir. Saban dua hari sekali aku bertandang kerumahnya untuk menggendongnya atau malah mengajaknya bicara. Entah ada angin apa hari itu, kakak ke-3, nenek dari si bayi bercerita masa lalunya denganku yang masih menggendong cucu kami itu.

Bahari aku itu, hanyar 3 hari beranak, begendong anak sambil mamasak. Nah, ditangan kiri anak. Tangan kanan maharu rinjing. Imbah itu kena betatapas. Kawa haja. Ganalan haja anak. Beulah wadai gin jadi haja sambil begendongan. Mun wayahini liati haja ikam kayak apa2

Kakak nampak membandingkan dia dan menantunya.

Sambil menyusui Mala menangis ikam, jadi ai, ikam dikiri mala di kanan. Guring seikung, begawi ai kaka ni didapur. Kayak itupang dah.”3

Aku hanya bisa diam saat kakak bercerita. Aku membayangkan ia harus merawat dua anak sekaligus. Adik dan anak kandungnya. Bukan hal yang mudah. Begitu pula dengan mama. Melahirkan 11 anak juga bukan hal mudah. Merawatnya hingga dewasa itu prestasi yang luar biasa.

Kadang kala aku mendapati mama menangis diatas sajadahnya. Bahkan aku pernah turut menangis kala ia menangis mendengar bacaan al-qur’anku. Pernah juga ketika aku pulang bekerja kelelehan, tanpa melepas sehelai pakaianpun aku langsung tertidur dikamar. Esok paginya mama memintaku berhenti bekerja, katanya dia tak tega melihatku kelelahan.

Suatu malam aku pulang hampir jam 12 malam. Pemberitahuan hanya kusampaikan via sms. Hanya pemberitahuan, bukan permohonan ijin. Mama sangat khawatir. Tapi aku terlambat menangkap hal itu. Aku anggap mama mengomeliku. Terlalu berlebihan, aku pulang terlambat karena mengikuti dzikir akbar. Aku menangis merasa tak dihargai mama. Aku sampaikan kekecewaanku pada mama panjang lembar.

Ikam balum kada bakaluarga lagi. Balum jua baisi anak. Jadi kada tahu pang kayak apa isi hati urang tuha tu mun anaknya parak jam 12 malam balum bulik4

Aku diam. Mataku makin panas. Rasanya air bah akan makin deras.

Ulun minta ampun ma, ulun minta ridha wan pian5

Ku ucapkan kata-kata itu dengan pengecut dari kamarku. Lalu ku benamkan tangisku pada guling yang kupeluk erat. Lamat-lamat kudengar bahwa mama memaafkanku. Akuk menangis sejadinya akan penyesalanku, akan kepengecutanku dan atas kesalahanku dan kelalaianku.

Esok paginya aku menangis karena tak bisa mencium tangan mama, ia merasa tangannya kotor, saat itu ia sedang membersihkan bayam yang akan djual. Aku patuhi. Tapi tangisku pecah diatas motor. Tangan itu yang menimangku. Tanganku itu yang membersihkan tubuhku. Tangan itu yang menutupi auratku. Tangan itu yang mendidikku. Allah aku mencintainya karenaMU….

Ku sadari, sejatinya tak ada Ibu yang tak menyayangi anaknya. Bahkan meski ia harus melepaskan anak itu dari pangkuannya. Kehawatiran yang teramat sangatlah, yang membawa ia pada kasih sayang yang sering tak dimegerti oleh anaknya.

Sepotong do’a, cukupkah?

“Robbighfirlii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo...”

Doa yang teramat pendek. Tapi contoh dari Rasulullah. Bahkan dalam do’a itupun saya meminta Allah mengampuni dosa saya terlebih dahulu baru kemudian orang tua.

mun kawitan itu, tahu anaknya lapar, makanan dalam muntug gin dijulung wan anak6

Itu kata-kata mama yang mengisyaratkan bahwa kasih sayang untuk anaknya lebih utama dari dirinya sediri.

mun ikam itu nah, habis magrib balum dirumah, bedoa tu pang dah mama ni. Mudah-mudahan ikam salamat kadada haral marintang dijalan7

Kusadari do’a mama untukku pasti jauh lebih panjang dari do’aku. Dan pasti pula amat terperinci karena dalam buku do’a tak kudapati do’a orang tua untuk anak. Maka pastilah do’a yang keluar dari lisannya adalah pula dari hatinya.

Pelukan erat dan air mata saat Lebaran, itu sajakah?

Selalu ada air mata ketika Ied Fitri. Selalu. Berderai-derai mengalir deras. Permohonan ampun mengalir mulus tanpa cacat. Pelukan erat penuh kasih karena temu masih ada dengan orang tua. Tapi, ba’da itu, selesai. Menunggu tahun depan lagi.

Saat Rasul bertanya pada sahabatnya “ kau mencintainya”. Sang sahabat menjawab “Benar wahai Rasulullah”. “Kalau begitu sampaikan lah padanya” Sabda Rasul. Jika pada sahabat yang seiman saja, Rasul memerintahkan untuk menyampaikan rasa cinta, apalah lagi pada mama. Mama yang jelas seiman. Melahirkan dan pula merawat serta mendidik. Tak pantaskah ia mendapat kata cinta itu. Allahu Robbi.. ampuni hamba…

Duhai, haruskah menunggu Lebaran mengucap cinta pada mama. Lama sekali rasanya. Akankah lebaran tahun depan bersua kembali? Hanya Allah yang tahu, hanya Allah saja..

Mama adalah cinta dari Syurga

Allah gambarkan bahwa didalam syurga apa yang diingni oleh manusia maka ia dapatkan. Bersama mama, andai saja aku pandai membaca kasih sayang dari syurga itu, maka sebenarnya apa yang aku butuhkan akan ku dapati.

Ketika masih bayi, aku menangis haus, aku menangis takut, aku menangis merasa tak nyaman karena pakaian basah pipis, mama dengan segala yang Allah anugrahkan, ada memberikan apa yang aku mau.

Saat aku belajar berjalan jatuh dan tertatih, belajar bicara dengan kata yang belum jelas. Mama mengerti apa yang ku mau. Bahasa cintanya mampu menterjemahkan kalimat balitaku yang jelas-jelas tak jelas. Langkah cintanya mampu menterjemah tatih langkahku menuju tujuan yang ku mau.

Duhai mama, ia adalah cinta dari syurga. Mendidik dalam kata, mendidik dalam laku, mendidik dengan segenap kemampuannya.

Samarinda, Desember 2010

____________

1 Tante atau bibi

2 Dulu itu, aku baru 3 hari melahirkan, memasak sambil menggendong anak. Ditangan kiri anak, tangan kanan mengaduk wajan. Setelah itu mencuci pakaian. Bisa saja. Anak-anak besar. Membuat kue juga bisa sambil menggendong anak. Kalau sekarang, kamu bisa liat sendiri

3 Ketika menyesui mala, kamu menangis, jadilah kamu menyusu dikiri mala dikanan. Tidur satu orang. Bekerjalah aku ini didapur. Begitulah.

4 Kamu belum bekeluarga. Belum juga memiliki anak. Jadi tidak tahu bagaimana isi hati orang tua jika anaknya hamper jam 12 malam belum pulang

5 Saya minta maaf ma, minta ridha dengan mama (pian = kamu, lebih halus, dari yang muda kepada yang lebih tua)

6 Kalau orang tua itu, tahu anaknya lapar, makanan dalam mulunpun ia berikan

7 Kalau kamu itu, setelah Shalat Maghrib belum dirumah, mama ini berdoa. Mudah-muhadan kamu selamat tidak ada masalah diperjalanan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun