Dua pekan terakhir seluruh media massa dipenuhi dengan kabar duka. Kasus kekerasan dan pelecehan seksual bertebaran di mana-mana. Kasus Novia, seorang mahasiswi yang diperkosa dan dicekoki pil aborsi secara paksa, seolah menjadi kotak pandora yang membuka kelakuan-kelakuan bejat oknum lainnya.
Dari isu ini, ada satu hal yang menarik perhatian saya ketika membaca berita, yaitu reaksi masyarakat yang sangat beraneka ragam. Mayoritas memang turut berduka dan membela korban, namun tidak sedikit juga yang memberikan reaksi yang bertentangan.
Seperti sebuah alur klasik yang sering kita temui, hal pertama yang akan diteliti dari kasus pelecehan adalah pakaian korban. Kedua, gaya hidup korban juga tidak luput dari pantauan orang-orang. Untuk kasus Novia sebagai contohnya, gaya berpacarannya yang dianggap “bebas” menjadi sorotan yang semakin memotivasi orang-orang tanpa empati untuk mencacinya dengan ungkapan “salah sendiri”.
Hal ini semakin didukung dengan pernyataan dari Kabid Humas Polda Jatim Kombes Gatot Repli Handoko yang dikutip dari Jawa Pos Radar Mojokerto (5/12) “Logikanya itu kan suka sama suka. Berarti unsur pemerkosaan ndak terpenuhi.” Dalam dialog yang sama, pihak Polda Jatim membeberkan kronologis aktivitas seksual korban dan pelaku yang seolah menjadi pembenaran akan paksaan berhubungan badan yang dilakukan kepada korban karena sebelumnya mereka sudah sering melakukannya.
Pernyataan seperti ini merupakan pernyataan yang berbahaya dan cenderung antipati, karena pada dasarnya kekerasan seksual bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan dalam hubungan apapun. Pelecehan dan kekerasan seksual dikatakan terjadi ketika korban tidak menghendaki.
Selanjutnya, komentar kontroversial akan tragedi yang dialami Novia juga dilontarkan oleh Komunitas Indonesia Tanpa Pacaran seperti yang tertera dalam unggahan instagram akun Indonesia Tanpa Pacaran pada 05 Desember, 2021 di bawah ini.
Dalam unggahan tersebut, narasi "Hal seperti ini akan selalu terulang selama budaya rusak tersebut (pacaran) masih terus dihalalkan" seolah menyalahkan aktivitas berpacaran yang dilakukan korban sebagai penyebab tragedi ini terjadi. Hal ini menunjukan bahwa ketika terjadi kasus kekerasan seksual masih saja ada segelintir orang yang berfokus kepada latar belakang korban bukan apa yang dialami korban.
Lalu setelah sekian banyaknya kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang terekspos ke media massa muncul satu pertanyaan, “Kok bisa korban tetap disalahkan?”
Diskriminasi Berbasis Gender