Mohon tunggu...
Nenen Ilahi
Nenen Ilahi Mohon Tunggu... -

Sehari-harinya ibu rumah tangga fulltime, dan pengajar part time. Alumni Australia Indonesia Youth Exchange Program dan Chevening Awards. Berminat pada khasanah pendidikan, media, dan budaya. Sekarang bermukim di Canberra, Australia.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tongkat Kayu Dan Batu Jadi Tanaman Hanya di Indonesia

25 September 2010   04:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:59 590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Di Indonesia, 'tongkat kayu dan batu'menjadi tanaman. Di Australia? Mimpiiii…. kale!

Saya tinggal di Canberra, dengan kondisi tanahnya bercampur batu granit. Menggali lubang untuk menanam pohon saja kadang-kadang sampai harus memerlukan drill khusus, karena jenis tanahnya.

Sebelum musim dingin lalu, kami menanam dua pohon. Setelah lubang tercipta pun, tanah galian tidak bisa dipakai lagi.Terlalu banyak batunya.

Lubang harus ditaburi dengan gipsum untuk ‘menghancurkan’ struktur tanah liat supaya air bisa terserap. Selesai? Belum. Tanah kompos dipakai menggantikan tanah tak subur tadi. Ditambah pupuk khusus untuk merangsang tumbuhnya akar.

Akhirnya dua pohon Ornamental Pear berhasil ditanam. Selesai? Belum. Angin yang sering bertiup kencang dapat mematahkan batang pohon muda dengan mudah. Dua tongkat penyangga harus dipasanguntuk masing-masing pohon, dan pohon diikatsupayaamandari kemungkinan patah.

Sampai disini, jangan langsung cuci tangan dan kaki. Menjaga supaya pohon tidak tercekik karenaair terus-terusan menguap oleh udara yang memang kering dan panas bukan main di musim Panas, sekeliling pohon wajib ditaburimoulch, cacahan kayu atau jerami.

Berapa ‘modal’ untuk menanam dua pohon diatas? Bibit pohon setinggi 2m, sekantong gipsum, 4 kantong kompos, pupuk akar dari rumput laut, moulch dan 4 kayu penyangga nyaris menghabiskan biaya A$400.

Busyet, mahal nian! Mungkin begitu komentar Anda. Kalau almarhumah Nenek saya masih hidup, beliau pasti langsung meng-konversi ke beras, dan menuduh menanam pohon-pohon ini sebagai tindakan mubazir. Hehe…

Namun, itu harga yang wajar untuk ukuran Australia. Dan ‘ribetnya’ menanam tanaman dan pohon di Australia inilah yang membuat saya terkenang dan terkagum pada kondisi alam Indonesia.

Di Australia, berkebun, dengan bibit yang mesti dibeli khususdi nursery –toko tempat menjual tanaman—memang perlu kepeng.Adalah tindakan kriminal memotek tanaman kota untuk menanam hasil ‘kerajinan tangan’ ini di rumah sendiri. Selain itu, tergantung dari jenis tanaman, mesti ada dedikasi pemilik untuk merawat tanaman-tanaman itu.

Sudah tahu mahal,perlu tenaga dan teknik ekstra, mengapa orang-orang masih doyan berkebun? Mungkin ini pertanyaan Anda selanjutnya.

Minat berkebun atau gardening, memang populer, ditambah dengan kesadaran mengurangi dampak global warming. Orang-orang tidak keberatan menyisihkan sebagian waktu serta penghasilan lantaran demen menikmati suasana hijau di rumah sendiri, serta ikut serta dalam usaha menyelamatkan bumi.

Makanya wajar saja, saat menanam pohon dikampanyekan sebagai partisipasi nyata dalam mengurangi carbon foot print, publik menyambutnya dengan antusias.

Apalagi dukungan untuk hobi ini juga lengkap, selain alternatif berjenis-jenis tanaman dari yang native maupun eksotis, juga ketersediaan aneka pupuk, pembasmi hama yang aman lingkungan, serta tips atau informasi berguna lainnya.

Mengenai info, pada setiap pergantian musim selalu diingatkan tanaman apa yang dapat segera ditanam.

Misalnya selepas musim gugur, mulai rame promosi untuk segera menanam umbi-umbian seperti tulips dan bunga bakung supaya pada musim semi sudah dapat dinikmati bunganya.

Masuk pertengahan musim Dingin, kerap dipromosikan bagaimana mempersiapkan veggie patch,lahan mungil buat bertanam sayuran, supaya hasilnya dapat dipetik sejadi-jadinya saat musim Semi dan Panas nanti.

Lantas, apa urusannya saya sharing cerita tak penting soal berkebun ini pada sahabat-sahabat kompasioner?

Saya tulis ini karena saya merasa hobi berkebun atau memelihara tanaman makin meredup di Tanah Air.Ia tidak lagi menjadi sesuatu yang en masse. Padahal negeri kita negeri agraris. Mestinya panggilan jiwa untuk berkebun selalu bertahta pada mayoritas sanubari masyarakat.

Bagaimana mungkin Indonesia justru semakin gersang?

Ada apa dengan masyarakat Indonesia? Saya menebak-nebak, barangkali karena tuntutan biaya hidup yang makin menggila, prioritas hidup bergeser bukan pada bagaimana menikmati hidup lagi –dengan berkebun, misalnya— kepada bagaimana mendedikasikan waktu untuk memperoleh pendapatan sebesar-besarnya supaya survive. Sehingga pantaslah hobi berkebun tidak sempat lagi dilakukan.

Semoga saja saya salah.

Namun patut diakui, perubahan yang membawa pada kegersangan ini memang nyata adanya. Dahulu hingga awal 90-an pernah ada masa-masa demam kembang bogenvile, demam anggrek, demam  asoka, lalu demam kaktus.

Sekarang demam-demam yang menyehatkan itu tak pernah terjadi lagi. Hanya tinggal pada perkumpulan-perkumpulan tertentu. Dan kalau orang tua ingin mendidik anak mengenai tanaman, mereka harus mengeluarkan biaya tak sedikit untuk piknik ke puncak,Taman Buah Mekarsari atau Taman Anggrek TMII di Jakarta Timur.

Kalau pun demam berkebun masih ada, hanya pada kebun virtual seperti pada game Harvest Moon atau Farmville di Facebook. Tragis!

Jadi teringat dahulu perjalanan dari kota Padang ke Padang Panjang hingga Bukittinggi, adalah nikmat mata atas karnaval keindahan bunga-bungaeksotis yang ditanam disepanjang jalan serta halaman rumah-rumah penduduk.

Tahun lalu ke Bukittinggi, pemandangan yang menyejukkan mata ini jauh menyusut kalau tak boleh dikatakan melenyap. Rumah-rumah dengan halaman yang tadinya elok oleh taman yang hijau serta aneka jenis kembang tropis yang sebagian menjuntai dari pot-pot gantung sekarang gersang. Padahal katanya Bukittinggi kota wisata.

Mengapa semua orang cuek berjamaah ya, padahal dengan tingkat laju polusi yang ada sekarang, masyarakat makin memerlukan lingkungan yang hijau.

[caption id="attachment_268827" align="alignright" width="300" caption="Jerih nan memberi hasil, tulipku mekar sudah. Photo: koleksi pribadi."][/caption]

Padahal lagi, berkebun di Tanah Air tidak perlu dana atau tenaga ekstra. Keindahan serta manfaatnya relatif bisa dinikmati sepanjang tahun.

Coba bandingkan dengan kondisi negara empat musim yang orang-orangnya harus manyun hingga musim Semi dan Panas dulu, baru bisa menikmatisabda kehijauan alam.

Saya mengetik tulisan ini ditemani secangkir teh hangat sambil menikmatieloknya kelopak tulip merah jambu yang saya tanam dari umbi dulu, yang baru mekar pagi tadi.

Salam hijau!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun