Perempuan perlu disadarkan bahwa pekerjaan sebagai pekerja seks komersial hanya memperkuat kapitalisme patriarkal. Seksualitas dan ekonomi tidak seharusnya disetarakan. Posfeminis berpendapat bahwa seksualitas memiliki nilai tersendiri bagi perempuan dan lakilaki harus berjuang untuk mendapatkannya tanpa membayar. Dorongan untuk melihat pekerjaan lain yang lebih layak harus terus diperkuat.
Dari perspektif politik global, isu PSK di Surabaya dapat dilihat sebagai cerminan atas ketimpangan gender yang masih terus menerus ada diberbagai negara. Perempuan sering diposisikan sebagai pihak yang rentan dan termarjinalisasi sehingga terjebak dalam lingkaran eksploitasi dan kekerasan.
 Di Indonesia prostitusi tidak dilegalkan, berbeda dengan jepang yang melegalkan praktik ini.3 Kesadaran akan pentingnya posisi perempuan harus disosialisasikan lebih luas, terutama kepada perempuan yang kurang berpendidikan dan hidup di pinggiran. Mereka perlu memahami konsep feminism, patriarki, dan keamanan manusia serta menyadari bahwa peran mereka dalam perekonomian lebih besar daripada sekedar pemuas nafsu laki-laki.
Tetapi jika membahas isu ini pun tidak akan ada habisnya sebab jika di goreng lagi penutupan lokalisasi di sejumlah daerah dinyatakan tidak efektif memutus rantai dunia prostitusi. Padahal sejumlah PSK telah diberi modal usaha dan pelatihan. Prostitusi malah beralih ke hotel-hotel dan jalanan, bahkan lewat pesanan.Â
Akibatnya, praktek prostitusi baru ini disinyalir bisa memicu penyebaran penyakit. Temuan ini semakin menguatkan bahwa wanita terjerumus ke dunia esek-esek bukan didorong kemiskinan semata, tapi moral juga berperan membentuk sikap PSK. Hal ini tidak menjamin dan bisa di katakan tidak efektif, bahkan bisa dikatakan memperkeruh mereka semakin merjalela dan tidak terpusat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H