“Ah betul juga ya, kenapa tidak saya coba merangkum dan mengkritik Novel-novel yang sudah saya baca di klub buku saya. Apalagi sudah ada dua orang sahabat yang katanya siap membacanya, wink-wink”, kata saya dalam hati. Kemudian wajah sumringah dua orang sahabat lama yang saya rindukan, Lies dan Yuli muncul di benak saya. Keduanya muncul di dalam gambar awan yang menempal di kepala saya; tampil seksi dalam bentuk karikatur, tertawa lebar, memakai kaca mata gaya, berambut tinggi, dengan bibir merah merona dan deretan gigi yang rapih.
Betul, sudah satu setengah tahun ini saya ikutan klub baca dikota Riverside ini. Klub yang terdiri dari ibu-ibu yang ingin terus membaca ditengah pekerjaan rumah yang tiada henti dan datang silih berganti itu cukup membuat saya ketagihan untuk tetap tinggal dan bersemayam di dalamnya. Anggotanya asyik-asyik, mau mendengarkan, saling memudahkan untuk mengakses buku, saling mensupport untuk menyelesaikan bacaan, dan tidak menghakimi bila salah seorang dari kami memutuskan untuk tidak meneruskan bacaan dengan alasan tidak suka, atau tidak punya waktu. Kami bertemu sebulan sekali, bergiliran dari rumah yang satu ke rumah yang lain, berdiskusi santai sambil menemani anak-anak kami bermain di temani makanan kecil dan minuman hangat. Rutinitas yang menurut saya sayang dilewatkan buat seorang pendatang seperti saya.Anyway, buku yang bulan ini kami pilih berjudul “The husband’s secret” karya Liane Moriarty yang profilnya bisa dibaca lengkap di http://lianemoriarty.com.au/index.php. Buku ini berkisah tentang penemuan sebuah surat yang di tulis oleh sang suami kepada istrinya. Surat yang diharapkan baru akan dibaca setelah kematiannya, justru di baca istrinya selagi sang suami masih hidup. Selagi kehidupan rumah tangga mereka begitu indah di pandang orang banyak dan dirasakan oleh mereka sendiri. Selagi tidak secuilpun sang istri menaruh curiga pada sikap santun, pada cinta, pada setia, bahkan pada pengabdian suaminya pada masyarakat. Surat itu, betul, surat yang tersimpan rapi di loteng atas, di antara tumpukan dokumen lama yang sudah menumpuk dan berdebu itu, telah mengubah romantika rumah tangga yang awalnya berhias pelangi menjadi mendung, gelap, berhaliintar.
“Please, jangan di baca ya surat itu”, kata John-Paul
“Memang kenapa?” jawab istrinya
“Ah bukan apa-apa, itu cuma tulisan biasa”
“Tapi kenapa harus dibaca nanti setelah kamu meninggal, saya penasaran”
“Engga usah penasaran, santai saja, nanti saya jelaskan ya”
“Ah okay”, jawab Cecilia dengan pikiran berkecamuk
“Terus dimana sekarang suratnya?”
“Ehm sudah saya simpan lagi ke loteng atas, di antara tumpukan dokumen lama” , katanya tidak jujur.
“Oh bagus, makasih”, kata John lega.
Cecilia berdesah pelan. Ia tidak yakin suaminyabisa mencium kebohongannya tapi ia bisa merasakan kelegaan perasaan suaminya.Kelegaan yang tidak biasa; wajahnya terlihat pucat pasi dengan sorot mata menghindar. Ia seperti menyembunyikan sesuatu yang membuat Cecilia makin penasaran. Pelan-pelan Cecilia selipkan surat tersebut di buku pelajaran sekolah anaknya yangmasih duduk di bangku SD. Ia letakkan buku itu di atas meja dapur, yang suratnya kemudian ia ambil lagi lalu ia baca belakangan di ruang kerja suaminya. Ia baca sendirian, kala itu di pagi buta, setelah mereka bercinta semalaman.
Tangan Cecilia bergetar setelah membaca surat yang di tulis John rapi dengan tinta berwarna hitam. Sekujur tubuhnya dingin dan kaku. Ia tidak percaya bahwa John, suami dan ayah yang hebat itu adalah seorang pembunuh. Ia juga tidak bisa membayangkan bagaimana ia harus berhadapan dengan Rachel, perempuan hebat yang bekerja sebagai sekretaris di TK tempat anaknya sekolah dan sudah 28 tahun mencari pembunuh anak gadisnya. Padahal baru tadi siang Cecilia bertemu Rachel, mencoba menghibur dirinya dengan menceritakan kenangan manis yang ia rasakan bersama Janie, anak gadisnya yang mati muda, yang pergi untuk selamanya di usia 17 tahun.
Tiba-tiba Cecilia menjadi jijik dan takut pada suaminya sendiri. Aliran darahnya naik ke ujung kepala karena rasa marah dan kecewa yang tak terbendung. “Kenapa, kenapa John tidak mengakui kesalahannya saja, jauh-jauh hari sebelum ia mengenal dirinya?. Kenapa…, kenapa ia melibatkan dirinya di perangkap dosa yang tidak bisa termaafkan ini?. Kenapa..kenapa semua terjadi ketika mereka tidak lagi seorang diri melainkan memiliki tiga orang puteri yang paling besarnya sudah menginjak usia 17 tahun?”. “Ah…pantas saja Esther, anak kedua mereka, bilang bahwa John sering melihat Isabel, anak mereka yang pertama, dengan pandangan yang aneh dan lama”. “Tentu ia tidak bisa membayangkan bagaimana kehilangan anak gadisnya sendiri karena terbunuh”. “Iya ma, papa sering aku lihat menangis keras ketika sedang mandi. Aku tidak tahu kenapa”, begitu kata Esther, puterinya yang kedua, suatu waktu. Cecilia tidak mengerti dan tidak begitu peduli kala itu, ia bahkan tidak pernah berniat menanyakan. Ia pikir Esther bisa jadi salah dengar, atau John Paul suaminya itu hanya perlu waktu sendirian untuk menghilangkan rasa penatnya di kantor. “Ah tapi kenapa menangis keras-keras ketika mandi?”, pikir Cecilia sesaat yang kemudian di gubrisnya sendiri.
Hari-hari setelah surat itu, hidup Cecilia berubah, “ia adalah istri seorang pembunuh”, katanya ngeri. Sebuah julukan yang ia tidak bisa memikulnya. “Bagaimana aku harus berhadapan dengan orang tuaku, dengan masyarakat, bahkan dengan anak-anakku”, pikir Cecilia dengan perasaan bingung dan sedih tak terkira. “Aku tidak tahu bagaimana aku harus meminta ma’af, Cecilia. Hampir setiap hari aku terhukum, hidup dikejar dosa besar seperti ini tidak mudah, sungguh menakutkan. Hampir setiap hari aku berpikir untuk menyerahkan diriku pada polisi dan mengakui semuanya dengan jantan. Tapi apa yang akan terjadi dengan kamu dan anak-anak?”, kata John Paul dengan wajah memelas yang Cecilia tidak mampu menatapnya lama-lama. “Ya, tapi kenapa kamu libatkan aku di dalam dosa masa lalumu?”, kata Cecilia lagi. “Aku bingung, aku berjalan tak tentu arah. Dan dalam kegalauanku yang sangat, aku kemudian bertemu kamu. Kamu ibarat malaikat yang menenangkan hatiku. Aku kira dengan menikahi perempuan sempurna seperti kamu aku bisa perlahan mengubur dosaku. Tapi semakin lama aku justru semakin tersiksa. Aku salah, aku benar-benar salah. Silahkan Cecilia, silahkan lakukan apa yang kamu mau, Kamu boleh melaporkan aku atau apapun yang kamu pikir baik, aku siap, aku siap”, kata John Paul lagi sambil meremas keras pundak Cecilia dengan jari jemarinya panjang.
Hampir di akhir kisah, ditengah kegalauan Cecilia dan Paul, banyak karakter yang muncul dan bermain hebat di buku ini. Ada tokoh tersangka pembunuh yang selama puluhan tahun di benci oleh Rachel. Yang karakternya unik dan melahirkan tokoh-tokoh lain yang masing-masing ceritanya juga tak kalah memikat. Ada kisah perkawinan yang sempat ternodai oleh perselingkuhan. Ada kisah persahabatan yang tidak biasa. Ada hubungan saudara kandung yang renggang dan dekat bergantian. Ada banyak kisah perempuan-perempuan dengan warna kehidupan yang beragam, menginspirasi, dan sempat membuat aku tertegun lama. Ada juga kisah para lelaki yang merasa kalah dalam hidup, merasa selalu jatuh cinta dengan wanita yang salah, dan atau merasa selalu di nomor duakan.
Tapi dari semua kisah-kisah itu, ada benang merah yang bisa saya tarik yaitu tentang kedalaman cinta orang tua pada anaknya. Yang juga selanjutnya menggambarkan bagaimana tanpa sadar orang dewasa lebih sering mendahulukan egoism mereka hingga melupakan akibat buruk yang bisa dirasakan oleh anak-anak mereka. Akibat buruk yang baru tersadarkan belakangan lewat hal memilukan yang sudah terjadi atau hampir terjadi pada anak-anak mereka.
Seperti dikisahkan di dalam buku ini. Cecilia dan Paul khususnya, akhirnya membayar kesalahan yang telah mereka perbuat lewat tragedi yang awalnya melibatkan niat jahat Rachel utuk mencelakakan Cornor, lelaki gagah yang selalu dianggap sebagai pembunuh anak gadisnya. Cecila dan Paul harus menerima kenyataan bahwa kesalahan mereka harus di tebus oleh derita cacat fisik yang akan di alami oleh anak perempuannya sendiri, Polly, yang masih berusia enam tahun.
Dan karena situasi lah yang secara sadar mengharuskan Cecilia memberitahu Rachel akan siapa pembunuh anaknya, tanda tanya besar di benak Rachel akhirnya terjawab sudah. John Paul tentu tidak bisa mengelak dan pasrah mengakui kesalahan terbesar dalam hidupnya dihadapan Rachel. Sebuah pengakuan yang di balut dalam suasana kehidupan yang tidak hitam putih itu membuat cerita ini unik. Dan yang juga unik adalah epiloginya. Di akhir buku ini, Liane sang penulis, menggambarkan bahwa sesungguhnya manusia tidak hidup sendirian, apa yang di lakukannya langsung maupun tidak langsung memberikan pengaruh bagi sekitar. Dan bahwa daur kehidupan itu juga penuh misteri.
Banyak misteri dan hikmah kehidupan yang hanya baru bisa di ketahui, difahami dan dirasakan belakangan, atau bahkan tidak akan pernah bisa diketahui dan dimengerti selama-lamanya. Liane, mampu menuliskannya dengan baik dan sempurna, dengan bahasa yang renyah dan mudah di mengerti. Walaupun di awal-awal cerita, banyak pembaca, mungkin, atau paling tidak saya sempat pula di buat bingung; mempertanyakan keterkaitan satu tokoh dengan tokoh lainnya.
Begitulah rangkuman isi buku ini, cukup menggelitik semangat saya untuk melanjutkan tulisan saya yang tercecer dan entah sampai kapan bisa terwujud menjadi sebuah buku, ha ha…J. Yang pasti, saya masih punya harapan dan semangat hingga saat ini. Terima kasih pada semua yang sudah membaca rangkuman ini, khususnya pada dua orang sahabat saya, Lies dan Yuli, semoga bermanfaat dan menghibur. Salam Hangat!
Tulisan ini juga di muat di http://nenengrosmy.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H