(Tulisan ini merupakan potret masyarakat pulau Singkep sampai tahun 1992)
Pulau Singkep berada di propinsi kepulauan Riau. Letaknya di antara pulau Sumatera dan Kalimantan, di sebelah utara pulau Belitung dan sebelah selatan pulau Lingga. Pulau Singkep yang masuk di dalam kabupaten Lingga ini memiliki luas hanya 757 km2 dengan penduduk sekitar 37.000 jiwa. Ibu kota pulau Singkep adalah Dabo Singkep.
Masyarakat di pulau Singkep sangat beragam. Baik dilihat dari etnis, agama, maupun profesi.
Etnis
Sebagaimana diketahui bahwa pulau Singkep berada di dalam rumpun kepulauan di area laut Cina Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa pulau Singkep masuk ke dalam alur lalu lintas pelayaran nasional dan internasional. Dengan demikian, pulau Singkep menjadi salah satu destinasi bagi para imigran dari luar Indonesia, khususnya pada masa pulau Singkep masih terkenal sebagai pulau penghasil timah. Dengan kekayaan alam yang dapat membuat infrastruktur pulau ini terbangun, tentunya bekerja atau membuka usaha di pulau Singkep menjadi impian bagi para imigran. Hal ini terlihat jelas dari keberadaan etnis non Indonesia asli yang mendiami pulau ini, seperti: etnis Cina, etnis Arab, dan etnis India.
Imigran yang tidak pernah berhenti masuk ke pulau Singkep adalah imigran dari Cina, sehingga jumlah etnis Cina yang akhirnya menetap dan berkembang di pulau Singkep sangat banyak. Kebanyakan dari mereka membuka usaha dengan cara berdagang (membuka toko), membuka tempat perjudian, mengadakan kerjasama dengan UPTS (Unit Pertambangan Timah Singkep) dalam pengadaan barang dan jasa, dan ada pula yang berkebun.
Sampai kira-kira tahun 1970-an, masih terasa adanya jarak antara etnis Cina dengan penduduk asli. Hal ini disebabkan, banyak dari mereka yang belum benar-benar fasih berbahasa Indonesia atau berbahasa Melayu. Bahkan mereka mendirikan sekolah bagi anak-anak mereka, yang lokasinya berada di dekat area pertokoan. Gedung sekolahannya pun dikelilingi benteng tinggi, sehingga memperlebar jarak antara mereka dengan penduduk setempat. Pada tahun 1970 pemerintah setempat mengeluarkan keputusan untuk menutup sekolah tersebut, dan para siswanya dipindahkan ke sekolah-sekolah negeri yang ada di Dabo Singkep. Hal ini berarti, terjadi pembauran nyata antara anak-anak penduduk setempat dan anak-anak etnis Cina. Dengan kata lain, jarak yang memisahkan antara penduduk setempat dan etnis Cina nyaris hilang, dan melahirkan suatu kehidupan yang lebih harmonis daripada sebelumnya.
Agama
Dengan banyaknya Etnis Cina di pulau Singkep, dan kemudian membangun vihara/kelenteng, artinya penganut agama Budha dan Khong Hu Chu di pulau Singkep tidaklah sedikit. Dengan demikian terdapat paling tidak 3 agama yang diakui di pulau Singkep, yakni: Islam (aliran Muhamaddiah dan Persis), Kristen (Katolik, Protestan, Pantekosta, dan Advent), dan Budha (termasuk Khong Hu Chu).
Ketiga agama hidup secara harmonis. Nyaris tidak terlihat adanya sikap-sikap primordialisme (mengagungkan agama masing-masing) pada diri penduduk yang membuat terjadinya benturan antar agama. Bahkan dengan jumlah penduduk yang tidak terlalu banyak, maka setiap perayaan agama seakan-akan menjadi hari besar bersama. Pada saat hari besar agama Islam, seperti: idul fitri, idul adha, dll, kemeriahannya dirasakan oleh semua penduduk, seakan-akan perayaan tersebut mendatangkan kebahagian bagi semua orang tanpa kecuali. Semua orang dengan mengenakan baju baru atau rapi, 'saling berkunjung' ke rumah orang-orang yang merayakannya, baik untuk mencicipi makanan maupun bersalaman. Saling berkunjung di sini diartikan bahwa bila rumahnya telah dikunjungi, maka akan membalas kunjungan tersebut. Sementara anak-anak mendatangi rumah para pejabat UPTS dengan tujuan mendapat kue atau amplop lebaran.Â
Pada saat perayaan Natal, orang-orang berkunjung ke rumah mereka yang beragama kristen. Sebagaimana di hari lebaran Islam, anak-anak turut sibuk mengunjungi para pejabat UPTS yang beragama Kristen untuk mendapatkan amplop. Selain Natal, anak-anak menanti perayaan Paskah, karena para pejabat yang merayakan hari Paskah selalu menggelar acara 'mencari telur Paskah' yang kulitnya sudah diwarnai. Semakin banyak telur yang ditemukan, maka semakin terbuka kemungkinan untuk meraih hadiah-hadiah yang sudah dipersiapkan oleh panitia paskah. Anak-anak yang turut serta dalam acara tersebut bukan hanya mereka yang menganut agama Kristen saja, sehingga terasa sekali kemeriahan Paskah.