Mohon tunggu...
Nendra Primonik 180789
Nendra Primonik 180789 Mohon Tunggu... -

Undergraduate student, Departement of International Relation UGM

Selanjutnya

Tutup

Politik

Masalah Perluasan Keanggotaan: Politisasi Konstitusi Eropa

19 Juni 2010   07:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:26 2562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perluasan keanggotaan merupakan isu yang harus dihadapi oleh Uni Eropa di masa kontemporer. Diawali oleh enam Negara pendiri, kini Uni Eropa sudah memiliki 27 negara anggota. Jumlah keanggotaan ini dapat dipastikan terus bertambah seiring dengan banyaknya Negara yang mengajukan diri untuk menjadi anggota Uni Eropa. Keinginan Negara-negara calon anggota untuk dapat bergabung ke dalam Uni Eropa tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan Uni Eropa dalam berbagai bidang, diantaranya ekonomi dan politik. Mendapatkan predikat sebagai anggota Uni Eropa diharapkan dapat membawa kesejahteraan bagi Negara calon anggota baru.

Penambahan jumlah anggota membawa keuntungan dan dilemma bagi Uni Eropa. Di satu sisi, keinginan negara-negara baru untuk bergabung dengan Uni Eropa merupakan salah satu bukti keberhasilan Uni Eropa sebuah sebuah institusi supra nasional. Dengan tingginya keinginan untuk bergabung, berarti Uni Eropa telah dipercaya sebagai sebuah regionalisme yang settled di kawasan Eropa. Hal ini juga membawa dampak positif bagi integrasi Eropa secara keseluruhan. Namun di sisi lain, penambahan jumlah anggota juga membawa berbagai dampak negatif. Anggota baru yang bergabung, secara logis akan mempengaruhi proses governance dalam Uni Eropa. Anggota baru harus melakukan penyesuaian dengan cara kerja Uni Eropa, termasuk menyesuaikan diri dengan istitusi-institusi yang berada di dalamnya. Institusi, merupakan pilar kerja Uni Eropa selama ini. Bila negara-negara baru tidak berhasil menyesuaikan diri dengan rules of procedure yang berlaku dalam berbagai institusi Uni Eropa, maka stabilitas Uni Eropa akan terganggu. Masalah ekonomi juga menjadi salah satu pertimbangan. Dengan jumlah negara anggota yang meningkat, Uni Eropa harus lebih berhati-hati dalam mengatur perekonomiannya. Ketimpangan ekonomi antar anggota dapat mengarah pada krisis ekonomi yang lebih parah dari krisis yang diakibatkan oleh Yunani saat ini.

Uni Eropa telah mengeluarkan persyaratan bagi Negara calon anggota untuk dapat diterima dan bergabung dalam institusinya. Syarat-syarat ini tercantum dalam Maashtricht Treaty artikel 39 dalam poin-poin Copenhagen Criteria. Beberapa persyaratan dasar yang harus dipenuhi antara lain: kesediaan untuk membuka pasar, penerapan nilai-nilai demokrasi, bersedia merepakan European Neighborhood Policy serta penegakan HAM. Kriteria ini juga dilengkapi dengan beberapa persyaratan teknis seperti aturan European Monetary Union. Tujuan utama dari pembentukan konstitusi dan syara-syarat ini adalah untuk mencegah terjadinya politisasi dalam institusi UE.

Tulisan ini akan menjawab lebih jauh mengenai permasalahan perluasan anggota yang harus dihadapi oleh Uni Eropa. Benarkah Uni Eropa dapat menghindari politisasi konstitusi dalam menentukan penerimaan anggota baru? Atau justru sebaliknya, bukan constitutional decision yang menentukan namun justru sebuah proses daily governance yang sarat kepentingan politik. Selebihnya tulisan ini juga akan menganalisa mengenai dampak perluasan keanggotaan terjadap proses governance di Uni Eropa terkait dengan penyesuaian konstitusi yang harus mereka lakukan.

Konstitusi Uni Eropa, merupakan sebuah konsep yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Terdapat kelompok yang beranggapan bahwa secara organisasi, Uni Eropa sebagai sebuah badan supra nasional telah sempurna dengan menghasilkan sebuah konstitusi. Namun di sisi lain, terdapat pula kelompok yang beranggapan bahwa kostitusi Uni Eropa yang dikenal selama ini sesungguhnya bukanlah sebuah konstitusi, namun tak lebih dari sebuah perjanjian atau treaty. Argumen ini dikembangkan oleh Brunkhors, yang beranggapan bahwa konstitusi Uni Eropa merupakan sebuah konstitusi yang “pincang”. Argumen dasar yang digunakan Brunkhors adalah dengan melihat berbagai perjanjian yang dimiliki oleh Uni Eropa. Secara teknis, mayoritas dari perjanjian dalam Uni Eropa telah memenuhi persyaratan sebuah bentuk konstitusi, antara lain : (1) menjamin basic rights dari warga Uni Eropa, termasuk mengatur affirmative action yang dapat dilakukan oleh Uni Eropa; (2) mengatur aturan dan norma organisasional. Dan menjelaskan aturan dan kompetensi Uni Eropa dalam membangun hubungan dengan institusi lain.; (3) membedakan secara jelas perbedaan antara primary law, yaitu hukum yang diterapkan secara luas dalam institusi Uni Eropa. Serta secondary law, hukum yang diterapkan dalam level yang lebih rendah, yaitu pada tataran nasional. Pembedaan hukum ini menjadi penting untuk menghindari adanya tumpang tindih kewenangan antara pemerintahan supra nasional dan pemerintah nasional.

Dilihat dari fungsi yang telah dijalankan, dalam pandangan kaum fungsionalis tidak dapat dibantah bahwa Uni Eropa telah memiliki konstitusi. Terlepas dari proses pembentukan dan penamaannya. Konstitusi Uni Eropa yang telah disempurnakan melalui Maashtricht Treaty telah memenuhi syarat sebagai structural coupling of the legal and political system. Konstitusi Uni Eropa telah mampu menciptakan regulative norms dan constitutive norms. Regulative norms adalah aturan yang menjelaskan berbagai aturan main dalam kerangka procedural. Aturan ini menciptakan hak legal Uni Eropa untuk melakukan intervensi secara politik. Sementara constitutive norms menjelaskan kewenangan untuk melakukan fungsi legislasi dan interpretasi yudisial.

Dalam kaitannya dengan perluasan keanggotaan, Uni Eropa menjamin hak setiap negara yang berada dalam region Eropa untuk dapat bergabung menjadi anggota. Hal ini juga tercantum dalam konstitusi Uni Eropa, yang disahkan oleh European Council pada tahun 1993 di Copenhaggen, Denmark. Kriteria untuk bergabung menjadi negara anggota kemudian lebih dikenal dengan Copenhagen Criteria. Secara garis besar, Copenhagen Criteria mengatur kewajiban negara calon anggota untuk memenuhi : (1) stalibitas institusi. Melalui pengaplikasian sistem pemerintahan demokratis; (2) pengaplikasian konsep the rule of law. Yang berarti tidak ada individu yang kebal hukum. Semua orang memiliki kedudukan yang setara di hadapan hukum, dapat diatur oleh dan atau dikenai sanksi sesuai hukum yang berlaku; (3) menjunjung tinggi nilai-nilai penegakan Hak Asasi Manusia (HAM); (4) menjamin perlindungan dan kesamaan hak bagi kaum minoritas; (5) memiliki ekonomi yang terbuka serta pasar yang kompetitif. Terkait dengan tingginya tekanan oleh pasar dari dalam dan luar Uni Eropa; serta (6) mendapat persetujuan dari negara anggota lain, terkait dengan prediksi bahwa calon negara anggota dapat menyesuaikan diri dengan institusi Uni Eropa serta mampu terintegrasi secara penuh baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Bila negara calon anggota dapat memenuhi kriteria di atas, maka ia dapat diterima sebagai anggota baru. Tujuan dibentuknya Copenhagen Criteria adalah untuk mengurangi kemungkinan permainan kepentingan dalam penerimaan calon anggota baru. Sebab kepentingan politik dapat mengganggu proses governance dalam Uni Eropa.

Salah satu negara calon anggota yang telah lama mengajukan permohonanan keanggotaan adalah Turki. Tahap awal permohonan keanggotaan Turki dapat terhitung sejak tahun 1959, saat negara ini permohonan untuk bergabung menjadi anggota European Economic Community. Kemudian berlanjut pada penandatanganan perjanjian Ankara pada tahun 1963, yang menjelaskan pembentukan asosiasi antara EEC dan Turki demi penguatan dan keseimbangan yang berkelanjutan dalam perdagangan antara anggota European Economic Communitydan Uni Eropa. Perjanjian Ankara juga menggaris bawahi bahwa Uni Eropa secara penuh memperhatikan kebutuhan Turki untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja serta kualitas kehidupan masyarakatnya. Perjanjian Ankara dapat dilihat sebagai titik temu antara kepentingan Uni Eropa dan kepentingan dalam negeri Turki. Upaya Turki ini berlanjut pada tahun 1965, saat dilakukan penambahan protocol dalam perjanjian Ankara untuk mempersiapkan Turki memasuki custom union bersama EEC. Pada tahun 1987 Turki mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh dari EEC. Permohonan ini diterima, ditandai dengan terbentuknya custom union antara Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki pada tahun 1995. Pada tahun 1997, Turki telah diakui layak untuk masuk sebagai negara calon anggota dan pada tahun 1999 Turki diumumkan secara resmi oleh Komisi Uni Eropa sebagai salah satu kandidat negara anggota. Proses masuknya Turki ke Uni Eropa terlihat mulus hingga tahun 1999. Berselang 11 tahun hingga kini, Turki belum juga mendapat lampu hijau untuk diterima dalam Uni Eropa. Berbagai pertanyaan kemudian muncul, apakah Turki memang belum dapat memenuhi Copenhagen Criteria seperti yang disyarakan oleh Uni Eropa? Atau ada kepentingan lain yang membuat proses aksesi Turki dalam Uni Eropa terhambat?

Pasca 1999, setelah Turki menjadi kandidat anggota Uni Eropa negara ini berupaya melakukan penyesuaian diri, sesuai yang tercantum pada ketentuan Copenhagen Criteria. Proses pemyesuaian diri ini dimulai sejak tahun 2002, yang dikenal dengan Turkey Harmonization Packages, yang hingga kini telah dilakukan sebanyak tujuh kali . Proses penyesuaian diri yang pertama ditandai dengan adopsi hukum anti terorisme dalam Turkish criminal law. Ini menunjukkan upaya Turki untuk turut memerangi terorisme, sebagai musuh bersama Uni Eropa. Upaya Turki lainnya dapat dilihat pada paket harmonisasi yang ketiga (third harmonization package) yang dilakukan pada Agustus 2002. Paket harmonisasi ketiga ini menghapuskan hukuman mati dalam undang-undang Turki, memperbolehkan pemberitaan dan proses pendidikan menggunakan bahasa ibu, termasuk di dalamnya bahasa Kurdi. Serta memperbolehkan kepemilikan property oleh kaum minoritas. Seperti yang telah diketahui, hubungan Turki dengan suku Kurdi sempat mengalami ketegangan terkait isu separatisme yang dilontarkan suku Islam Kurdi di Turki. Dalam paket harmonisasi yang ketiga ini Turki berupaya memenuhi syarat menghormati dan menjaga hak kaum minoritas di dalam teritori negaranya, lebih spesifik pada suku Kurdi, dengan menjamin hak mereka dan melupakan sentimen sejarah yang pernah terjadi. Pada tahun 2004, Komisi Eropa mengeluarkan keputusan bahwa negosiasi mengenai aksesi Turki harus segera dilaksanakan. Terkait dengan upaya Turki untuk memenuhi Copenhaggen Criteria secara luas.pada tahun 2005, Komisi Uni Eropa menggaris bawahi permasalahan Cyprus dalam upaya pengajuan diri Turki menjadi anggota. Masalah Cyprus memang telah menjadi masalah dalam negeri Turki sejak decade 1960-an. Konflik ini terjadi antara Cyprus dengan Yunani sebagai akibat dari terbentuknya negara Cyprus. Sebelumnya, pada tahun 1950-an, Turki menganggap permasalahan Siprus sebagai masalah internal Inggris, sebagai negara yang memiliki kewenangan di Siprus pada saat itu. Pada perkembangannya, Turki ikut terlibat dalam pembentukan Republik Siprus yang menekankan esensi pada apa yang disebut sebagai bi-national partnership state. Ketika konflik muncul dan tereskalasi menjadi masalah perebutan pengaruh antara Yunani dan Turki, kepentingan Turki dalam permasalahan Siprus adalah menjadi basis penyokong terhadap komunitas Turki yang hidup di Siprus sebagai golongan minoritas.

Kekhawatiran terhadap dominasi bangsa Yunani mengakibatkan Turki semakin bersikap ofensif saat itu. Hal ini tentu tidak berdampak baik bagi hubungan Turki dengan negara yang notabene adalah negara tetangganya. Turki pernah melakukan invasi yang disebut sebagai “operasi perdamaian” ke Siprus pada tahun 1974 sebagai reaksi atas terjadinya kudeta di Siprus yang dimotori oleh tentara Yunani dan rakyat Siprus yang menginginkan dominasi bangsa Yunani di Siprus. Kudeta ini dikhawatirkan menjadi strategi Siprus Yunani untuk menggulingkan pemerintahan Republik Siprus kemudian mendirikan negara Siprus yang terunifikasi dengan Yunani. Turki pada saat itu enggan memprioritaskan jalan diplomasi dalam menyelesaikan permasalahan perebutan pengaruh di sebuah wilayah yang berkonflik tersebut. Meskipun Turki menghadapi pertentangan dari Amerika Serikat, anggota NATO maupun anggota Uni Eropa atas beberapa sikapnya yang tidak menurunkan tensi dari ketegangan konflik ini, saat itu Turki masih bertahan pada posisinya dalam membela Siprus Turki. Perlu disadari bahwa reaksi Turki yang menjadi lebih berani melancarkan aksi militer ini dipicu oleh peningkatan percobaan genosida terhadap Siprus Turki hingga tahun 1974. Eskalasi krisis yang terjadi memberikan gambaran pada Turki bahwa ketiadaan dukungan dari Amerika Serikat, NATO maupun PBB terhadap operasi militer tidak menyurutkan tindakan ofensif tersebut. Sebab terbukti bahwa apa yang telah dirancang dan diagendakan PBB sekali pun tidak berjalan dengan lancar dan efektif sesuai dengan yang diharapkan selama Siprus Yunani masih bersikap sama. Oleh karena itu, dukungan Turki terhadap eksistensi Siprus Turki menjadi semakin kontroversial dengan adanya pengakuan Turki secara de fakto terhadap terbentuknya Turkish Republic of Northern Cyprus pada tahun 1983. Turki secara frontal menunjukkan pertentangannya dengan PBB yang menganjurkan tidak diakuinya negara yang dibentuk oleh Siprus Turki.

Permasalahan Cyprus inilah yang kemudian menyebabkan proses aksesi Turki menjadi terhambat. Pada 2005 di tengah upaya perundingan aksesi pihak Uni Eropa meminta Turki untuk mengakui eksistensi negara Cyprus Yunani, serta membuka pelabuhan dan bandaranya untuk Yunani. Namun Turki mengajukan tuntutan lain pada Yunani. Turki berkenan membuka bandara dan pelabuhannya, dengan syarat isolasi terhadap Turkish Republic of Northern Cyprus juga harus dihilangkan. Pada November 2006 Turki dilaporkan belum membuka pelabuhan dan bandaranya bagi petugas administrator Cyprus Yunani. Untuk memenuhi tuntutan ini, Turki diberikan waktu hingga 14 dan 15 Desember 2006. Di saat yang hampir bersamaan, Presiden Uni Eropa saat itu yang dijabat oleh Finlandia mengeluarkan pernyataan bahwa upaya negosiasi dengan Turki terkait masalah Cyprus mencapai kegagalan. Dampaknya, komisi Uni Eropa mengeluarkan keputusan jika Turki tetap bersikeras tidak bersedia membuka bandara dan pelabuhannya bagi perwakilan Cyprus Yunani maka kesepakatan yang telah tercapai sebelumnya akan dipertimbangkan kembali. Pertimbangan ulang itu akan dilakukan pada isu-isu strategis, seperti kesepakatan tentang free flow of goods, kesepakatan yang telah tercapai mengenai custom union¸hingga pada aspek transportasi dan perikanan (common fisheries policy). Puncaknya, pada Januari 2007 Rumania dan Bulgaria diterima menjadi negara anggota. Tapi status keanggotaan Turki hingga saat ini belum juga di sahkan. Melihat kenyataan ini, ada baiknya kita menilik pada Copenhaggen Criteria sebagai landasan diterimanya anggota baru dalam Uni Eropa untuk mendapatkan logika mengapa hingga saat ini Turki belum diterima sebagai negara anggota Uni Eropa. Sebagai sebuah badan supranasional yang berkeras menghindari bias kepentingan politik yang mengganggu jalannya organisasi, maka keputusan menunda penerimaan Turki paling tepat dipandang sebagai sebuah keputusan konstitusioanl.

Sebagai produk dari konstitusi Uni Eropa, Copenhagen Criteria merupakan sebuah rules of procedure (ROP) yang harus dilakukan oleh Uni Eropa dalam mempertimbangkan permohonan keanggotaan dari sebuah negara. Dengan adanya SOP ini Uni Eropa dapat bekerja dengan lebih efisien dan independen, tanpa dipengaruhi kepentingan politik diantara negara-negara anggota lainnya. Netralitas Uni Eropa dalam keputusan menerima atau tidak menerima masuknya anggota baru dapat mempengaruhi pandangan pihak luar terhadap Uni Eropa sebagai sebuah organisasi regional. Dalam kasus Turki, pemenuhan persyaratan Copenhagen Criteria telah diupayakan dilakukan. Yang paling terlihat adalah dengan program pemerintah Turki yang mengeluarkan sebuah kebijakan spesifik, Turkey Harmonization Packages, untuk menyesuaikan kondisi dalam negerinya dengan istitusi Uni Eropa. Dalam kebijakan harmonisasi ini Turki telah berupaya menerapkan system pemerintahan yang demokratis, yaitu dengan mengubah system kepartaian menjadi bentuk multi partai, mejadikan pers dalam negerinya menjadi lebih terbuka. Selain itu Turki juga menghapuskan hukuman mati dalam system hukumnya. Dalam kaitannya dengan pemenuhan hak-hak minoritas, Turki melakukan normalisasi hubungan dengan suku Kurdi yang pernah memiliki sentiment sejarah masa lalu. Pada paket harmonisasi nya yang ketiga, Turki menekankan kesamaan hak bagi warga suku Kurdi yang berada di Turki untuk menggunakan bahasa ibu mereka. Penggunaan bahasa Kurdi juga diperbolehkan dalam proses pendidikan dan pada pemberitaan di media cetak dan elektronik. Sementara penyesuaian di bidang ekonomi telah dimulai sejak Turki bergabung dalam EEC. Kesediaan Uni Eropa untuk menyetujui kesepakatan pembentukan custom union dengan Turki memperlihatkan keduanya memiliki hubungan yang saling menguntungkan di bidang ekonomi. Bergabungnya Turki dengan Uni Eropa justru dipandang oleh banyak analis dapat meningkatkan keuntungan ekonomi, sebab negara ini merupakan pasar yang menjanjikan bagi produk ekspor Uni Eropa. Dapat disimpulkan bahwa dibandingkan negara-negara anggota baru yang lain, yang notabene tingkat adaptasi ekonomi dan system politikya masih rendah, bergabungnya Turki sebenarnya tidak akan mempengaruhi proses governance Uni Eropa secara signifikan.

Lamanya proses aksesi Turki, semakin ke belakang justru dapat dipandang sebagai hasil dari proses daily governance yang sarat kepentingan politik. Di luar pertimbangan konstitusional, terdapat pertimbangan lain yang menghasilkan penundaan status keanggotaan Turki. Isu yang pertama adalah mengenai banyaknya presentase warga Muslim di Turki. Hal ini menimbulkan kekhawatiran negara-negara anggota, melihat sejarah pertikaian Turki dengan Suku Kurdi. Ditakutkan keberadaan komunitas Muslim dapat mengganggu stabilitas keamanan Uni Eropa. Penolakan terkait keberadaan komunitas Muslim di Turki, meski tidak disampaikan secara eksplisit, diutarakan oleh Perancis yang merupakan negara sekuler dengan berbagai aturan ketat mengenai pemisahan kehidupan beragama dan kehidupan bernegara. Kekhawatiran ini ditambah dengan tipologi politik dalam negeri Turki, yang mayoritas dikuasai oleh Partai beraliran Islam Sunni. Permasalahan kedua adalah kasus Cyprus yang hingga kini belum juga terselesaikan. Uni Eropa memandang kasus ini sebagai pengingkaran atas kewajiban perlindungan terhadap golongan minoritas, seperti yang tercantum pada Copenhagen Criteria. Keberanian Turki untuk mengumumkan pembentukan Turkish Republic of Northern Cyprus membuat Uni Eropa gerah. Aksi Turki ini jelas berseberangan dengan keputusan Uni Eropa, yang justru menerima bagian Cyprus Yunani sebagai anggota. Kasus Cyprus inilah yang menjadi arena pertentangan antara Turki dengan negara anggota Uni Eropa. Yunani, yang didukung oleh Jerman jelas menentang bergabungnya Turki. Sebab dengan mendapatkan status keanggotaan posisi tawar Turki dalam kasus Cyprus akan lebih kuat. Dukungan Jerman pada Yunani dalam kasus Cyprus adalah bentuk dari relasi dalam NATO. Penolakan Yunani mungkin tidak akan berarti signifikan, sebab negara ini juga tengah disorot status keanggotaannya akibat hutang dalam negerinya yang menumpuk. Namun penolakan Jerman akan membawa dampak yang cukup kuat, terkait dengan tingginya hak suara (qualified majority voting) yang dimiliki Jerman. Penolakan oleh Jerman seakan sebuah harga mati bagi sulitnya Turki masuk ke dalam institusi Uni Eropa.

Namun di balik penolakan yang terjadi, Turki masih mendapat dukungan dari beberapa negara. Contohnya Spanyol dan Italia, kedua negara ini mendukung Turki untuk dapat bergabung dengan Uni Eropa. Bahkan Spanyol dan Turki bekerja sama dalam membentuk United Nations Alliance of Civilizations (UNAOC) di bawah pemerintahan Koffi Anan sebagai Sekretaris Jenderal PBB. Italia di lain pihak menyatakan dukungan penuhnya terhadap proses aksesi Turki. Italia optimis bahwa Turki dapat menyelesaikan kasus Cyprus, dan tidak mengingkari poin yang terdapat pada Ankara Agreement. Dukungan dan penolakan dari kedua belah pihak ini dapat memetakan sesuatu : kepentingan dalam Uni Eropa. Negara-negara yang menolak Turki bergabung adalah negara inner circle, yang menginginkan Uni Eropa tetap bertahan pada status quo. Kelompok ini memandang Turki sebagai black sheep yang dapat membawa banyak masalah baru bagi Uni Eropa, baik dari sisi politik maupun ekonomi. Sedang kelompok kedua merupakan negara-negara yang tergabung dalam PIGS (Portugal, Italia, Yunani, Spanyol). Kecuali Yunani yang terlibat dalam konflik Cyprus, ketiga negara lain merupakan pendukung Turki dalam proses aksesi. Tidak mengherankan, sebab Turki dan ketiga negara ini memiliki pengalaman yang hampir sama dalam Uni Eropa. Sebagai negara Eropa Timur yang kerap dipandang sebelah mata, status keanggotaan mereka kerap diperdebatkan.

Pada akhirnya, Uni Eropa tidak bisa menggunakan konstitusi sebagai latar belakang pengambilan keputusan di setiap kasus. Dalam permasalahan perluasan keanggotaan, proses daily governance yang sarat kepentingan politik amat mempengaruhi keputusan organisasional yang diambil. Terbukti dari kasus Turki, meskipun ia sudah memenuhi persyaratan dalam Copenhagen Criteria namun hingga kini status keanggotaannya masih menggantung. Two level game turut mempengaruhi status keanggotaan Turki, dimana negara-negara yang memiliki QMV tinggi menolak keanggotaan Turki. Penolakan ini diakibatkan oleh permasalahan dalam negeri negara-negara tersebut pada Turki. Maka dapat disimpulkan bahwa keputusan oenerimaan anggota baru jauh lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan dalam negeri negara-negara anggota dan proses daily governance dalam Uni Eropa. Dibanding melalui uji pemenuhan persyaratan dalam konstitusi. Menarik untuk mengutip pernyataan Duta Besar Spanyol Untuk Turki, Joan Closs untuk menjelaskan hubungan Turki dan Uni Eropa saat ini : “I think that Turkey is Europe, and we should keep talking and explaining to each other to make that a non-negotiable fact. The Turkish accession to the EU should be considered as a love affair, not just as a marriage of interests; there should be more love than interests”.

Referensi:Brunkhors,t Hauke, 2003,‘A Polity without a State? European Constitutionalism between Evolution and Revolution,’ARENA (Advance Research on the Europeanization of the Nation-States) Working Paper, 14/03

Martkler, Tanja, ‘The Power of Copenhagen Criteria’ CYELP Vol 2-12

Emerson, Michael, ‘Has Turkey Fulfilled Copenhagen Criteria?’ Centre For European Policy Studies (CEPS) No 48/2004

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun