Mohon tunggu...
Nendra Primonik 180789
Nendra Primonik 180789 Mohon Tunggu... -

Undergraduate student, Departement of International Relation UGM

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hizbut Tahrir: Gerakan Fundamentalis Pro Globalisasi

19 Juni 2010   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:26 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Dunia bergerak dengan cepat dan tengah menemui titik nadirnya"[1], pernyataan ini diungkapkan oleh Uskup Agung Wulfstan yang disampaikan pada khotbahnya di York pada tahun 1014. Pernyataan Uskup Agung diatas menggambarkan bagaimana manusia telah merasakan perubahan yang bergerak secara simultan dalam kehidupannya. Dunia kini bergerak semakin cepat, hingga fenomena yang kita temui saat ini sudah amat berbeda dari fenomena yang bisa kita temui beberapa puluh tahun lalu. Apakah yang bisa membuat kita percaya bahwa manusia memang sedang melewati sebuah periode besar transisi sejarah? Alasan kuat dan objektif untuk percaya bahwa kita sedang mengalami perubahan besar dalam sejarah adalah dengan melihat pengaruh dari berbagai pemikiran Eropa yang masuk pada abad 17 dan 18. Sejak abad itu, kehidupan manusia berkembang di bawah pengaruh ilmu, teknologi, dan pemikiran rasional. Budaya industry Barat dibentuk oleh pencerahan (enlightenment)- oleh tulisan-tulisan para pemikir yang melawan pengaruh agama dan dogma. Serta ingin menggantikannya dengan pendekatan yang lebih praktis. Kehidupan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan mulai ditinggalkan dan digantikan oleh pendekatan rasional. Argumen dasar yang diyakini oleh para filsuf Pencerahan adalah "semakin manusia mampu memahami dunia dan diri mereka sendiri secara rasional, maka mereka dapat membentuk sejarah untuk tujuan manusia itu sendiri. Manusia haruslah membebaskan diri dari kebiasaan dan prasangka masa lalu untuk mengendalikan masa depan."

Jelaslah tujuan para filsuf Pencerahan mengembangkan pemikiran ini, yaitu untuk mencapai dunia yang lebih teratur dan dapat dikontrol. Mari kita lihat Karl Marx, yang gagasannya amat dipengaruhi oleh pemikir abad Pencerahan. Dengan pendapat bahwa manusia harus memahami sejarah untuk membuat sejarah maka Marxisme sebagai bentuk pemikiran Marx berkembang pesat pada abad 20 an[2]. Menurut pandangan ini, dengan semakin berkembangnya ilmu dan teknologi seharusnya dunia menjadi lebih teratur, stabil dan tertib. George Owell dan Marx Weber misalnya, kedua pemikir ini sepakat dengan pandangan Marx bahwa dengan keberadaan pemikiran rasional dan teknologi maka masyarakat akan mencapai tingkat kestabilan dan dapat diprediksikan. Manusia dan masyarakat akan menjadi roda-roda kecil dalam struktur sosial dan ekonomi. Keberadaan manusia sebagai individu yang penuh rasionalitas akan membuat mereka tidak mudah dikendalikan oleh factor eksternal.

Namun, yang terjadi di dunia kita saat ini tidak tampak seperti apa yang diperkirakan oleh para filsuf abad Pencerahan. Semakin ke belakang, yang kita temui bukanlah sebuah kendali atas dunia. Melainkan sebaliknya, justru sebuah dunia yang tanpa kendali. Meminjam istilah Anthonny Giddens inilah yang disebut dunia yang lepas kendali (runaway world). Beberapa elemen yang diperkirakan dapat membuat kehidupan manusia lebih pasti dan dapat diprediksikan, termasuk di dalamnya kemajuan ilmu dan teknologi, justru mempunyai dampak yang sebaliknya. Semakin banyak risiko dan ketidak pastian baru yang mempengaruhi hidup kita. Ketidak pastian dan kehilangan kendali ini menyebar pada berbagai aspek kehidupan. Mulai dari bidang ekonomi, politik, lingkungan hidup hingga pada tingkat keluarga. Di bidang ekonomi, ketidak pastian makin terlihat jelas pada krisis finansial global yang terjadi pada tahun 2008. Dimana kecanggihan teknologi dan keilmuan tidak mampu mencegah melubernya efek sistemik dari kredit macet perumahan di Amerika Serikat. Dalam bidang lingkungan hidup, kini dunia mengalami tingkat pemanasan global dengan trend yang terus meningkat secara signifikan. Keberadaan teknologi justru makin memperburuk keadaan. Di bidang politik, keberadaan ilmu dan teknologi meningkatkan dorongan dalam negeri untuk mencapai kondisi politik yang serupa dengan apa yang terjadi di negara-negara barat. Salah satu trend yang terus meningkat adalah bertambahnya jumlah negara yang menganut system demokrasi. Hal ini berlanjut pada level yang paling mikro, yaitu pada hubungan yang didasari relasi afeksi: keluarga. Terdapat perubahan pada relasi berbasis gender, juga pada hubungan antara anak dan orang tua. Kini pola keluarga tradisional sudah mulai ditinggalkan. Penerapan nilai-nilai demokrasi telah diterima di kalangan luas.

Perubahan yang dipaparkan diatas tidak dapat dilepaskan dari apa yang telah kita akrabi bersama. Sebuah proses yang bernama globalisasi. Globalisasilah yang memfasilitasi ilmu dan teknologi berkembang. Proses ini mengakibatkan batas-batas konvensional luruh. Dimensi waktu dan tempat kini menjadi tidak signifikan. Hal ini mengakibatkan akses ke berbagai peristiwa dapat terbuka, transfer nilai dapat berlangsung dengan cepat. Globalisasi menghasilkan sebuah konsepsi bersama mengenai nilai-nilai global yang dianut oleh seluruh dunia. Lebih sederhana, globalisasi telah membuat batas antara "kami" dan "mereka" menjadi hampir tidak ada lagi. Karena meningkatnya interaksi antar aktor, kepentingan aktor satu akan mempengaruhi kepentingan aktor lain. Begitu pula dengan dampak dari tindakan yang diambil. Tindakan aktor satu dapat mempengaruhi tindakan aktor lain. Tidak peduli kedua aktor ini berada dalam dimensi waktu dan tempat yang berbeda. Hilangnya batas antara "kami" dan "mereka" paling mudah diamati dalam bentuk globalisasi politik. Salah satu ciri dalam globalisasi politik adalah meningkatnya kepentingan bersama antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Serta terjadinya pertukaran nilai yang dianut pemerintahan suatu negara dengan pemerintahan negara lain. Contoh yang paling nyata terlihat dewasa ini adalah dengan diterimanya demokrasi oleh mayoritas negara di dunia. Demokrasi, yang berasal dari Athena dan kemudian dikembangkan oleh negara Barat kini menjadi nilai global yang diyakini dapat membawa manfaat bagi negara penganutnya. Keyakinan ini timbul sebagai hasil dari salah satu komponen dalam globalisasi politik, yaitu transfer of ideas. Di Indonesia, proses globalisasi politik ini membawa berbagai dampak. Tuntutan reformasi tahun 1998 menjadi bukti bagaimana Indonesia terkena dampak dari proses globalisasi politik. Ide mengenai demokratisasi dengan mudah masuk ke masyarakat dalam negeri. Di lain pihak upaya merubah system pemerintahan ini juga didukung oleh berbagai negara lain. Keputusan Indonesia untuk tetap bertahan pada status quo atau berpindah kepada system demokrasi akan mempengaruhi aktor-aktor lain dalam politik global, baik secara langsung maupun tidak langsung. Makin dekatnya Indonesia dengan rantai globalisasi politik membawa berbagai pendapat di masyarakat dalam negeri. Di satu sisi ada yang mendukung. Namun di sisi lain tak sedikit yang menyayangkan keputusan Indonesia untuk bergabung dalam kelompok penganut globalisme[3].

Hizbut Tahrir , merupakan sebuah organisasi transnasional yang berseberangan dengan paham globalisasi politik. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, globalisasi politik akan membawa ekses yang buruk bagi negara penganutnya. Organisasi yang berasaskan pada nilai-nilai keislaman ini memiliki cara pandang yang berbeda dalam menterjemahkan konsep politik dan pemerintahan. Tulisan ini akan membahas lebih lanjut mengenai cara Hizbut Tahrir dalam menghadapi dunia yang semakin mengglobal, dengan menekankan pada jalur-jalur alternative yang ditawarkan. Selain itu juga akan dielaborasi lebih lanjut mengenai posisi Hizbut Tahrir dalam memandang globalisasi. Bagaimana ia memanfaatkan setiap peluang dan tantangan yang muncul dalam system ini. Hizbut Tahrir, sebuah organisasi yang didirikan di Palestina dengan tujuan mengembalikan dunia pada nilai-nilai yang paling hakiki, yaitu nilai keislaman. Dalam pandangan Hizbut Tahrir, dunia yang kian tanpa batas saat ini hanya membawa efek buruk bagi peradaban manusia. Hizbut Tahrir menolak dengan keras lima klaim utama paham globalisme, yang banyak dianut oleh kelompok pro globalisasi. Adapun lima paham utama globalisme adalah: liberalisasi dan integrasi pasar, globalisasi merupakan sesuatu yang tak terelakkan dan tak berbalik, globalisasi tidak bisa dikendalikan oleh siapapun, proses globalisasi menguntungkan semua orang, dan yang terakhir globalisasi akan meningkatkan penyebaran demokrasi di seluruh dunia. Mari kita melihat pandangan Hizbut Tahrir pada poin-poin di atas.

Klaim pertama globalisme adalah cita-cita neo liberal tentang pasar yang bekerja secara otomatis (self regulating market). Menurut perspektif ini fungsi utama pasar bebas adalah untuk melindungi dan menghargai kebebasan individu. Bertentangan dengan intervensi pemerintah dalam perekonomian yang telah dilakukan negara Barat selama dua pertiga pertama abad Sembilan belas, para pendukung globalisasi menuntut diadakannya "liberalisasi dan deregulasi pasar". Artinya, segala kepentingan ekonomi akan diserahkan kepada pasar. Peran pemerintah dalam kehidupan perekonomian akan menyusut secara signifikan. Meminjam istilah Friedman, liberalisasi dan deregulasi pasar diyakini sebagai sebuah golden straitjacket yang cocok diterapkan di semua negara. Hizbut Tahrir menempatkan posisi mereka pada sisi yang berlawanan. Alih-alih menjadi golden straitjacket liberalisasi pasar justru akan menimbulkan masalah baru. Dalam pandangan Hizbut Tahrir pandangan ini tak lebih dari perluasan ide kapitalisme Barat. Hizbut Tahrir mengeluarkan sebuah buku berjudul Kegoncangan Pasar Modal Barat, yang menceritakan bagaimana ide-ide kapitalis ini justru membawa dunia pada depresi besar dan krisis finansial pada 1997 dan 2008 silam. Sebab, ide ekonomi kapitalis pada hakikatnya adalah ide yang bersandar pada kemaslahatan belaka. Ide tersebut terbukti telah memerosotkan manusia ke derajat yang paling nista, karena ide itu bertumpu pada dorongan-dorongan naluriah paling rendah pada manusia.[4] Fakta berbagai masyarakat yang menerapkan ide tersebut menunjukkan, bahwa mereka adalah komunitas yang selalu rakus dalam hidup, tidak pernah puas terhadap produk- produk yang mereka hasilkan, serta tak pernah puas pula ter- hadap perilaku konsumtif mereka. Mereka tidak pernah meng- hiraukan nilai-nilai kehidupan apa pun selain nilai kehidupan yang materialistis. Di Barat, golongan minoritas dari kalangan pemilik modallah yang menguasai mayoritas masyarakat yang harus bekerja dengan susah payah dan hidup dalam keresahan.[5] Ideologi keislaman yang dianut Hizbut Tahrir meyakini bahwa system pasar bebas hanya akan menimbulkan kemiskinan dan kesenjangan di dunia. Pasar bebas tidak akan mampu menciptakan pemerataan kesejahteraan bagi umat. Golongan yang kaya akan makin kaya. Begitu pula sebaliknya, golongan miskin justru akan semakin miskin. Maka satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan mengaplikasikan konsep ekonomi Islam dalam masyarakat. Ekonomi Islam, atau yang lebih jamak dikenal dengan ekonomi syariah menekankan pada pengaturan pemerintah dan keadilan bagi ummat. Dalam konsep ekonomi syariah tidak diperbolehkan dilakukan deregulasi pasar. Justru pemimpin (khalifah) lah yang bertanggung jawab mengatur perekonomian. Faktor produksi vital seperti air, tanah dan listrik tidak boleh diserahkan pada pengaturan pihak swasta. Ketiga faktor produksi tersebut diberikan secara cuma-cuma kepada ummat, dan kewenangan tertinggi tetap berada di tangan khalifah. Dalam system ini juga diatur mengenai tata cara pengambilan keuntungan. Aturan ini ditujukan untuk mencegah munculnya monopoli dalam perekonomian. System ekonomi syariah ini menjamin keadilan dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh golongan ummat.

Hizbut Tahrir memandang proses globalisasi merupakan proses yang masih bisa dielakkan. Berbeda dengan pandangan globalisme, yang beranggapan globalisasi adalah sesuatu yang tak terelakkan dan tak berbalik. Pandangan kelompok pro globalisasi diungkapkan dengan lugas oleh Margareth Thatcher yang menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain (there is no alternative). Maksudnya tak ada lagi alternative teoretis di luar logika ekspansionis pasar. Yang dapat dilakukan oleh negara-negara di dunia hanyalah menyesuaikan diri dengan system pasar yang baru ini. Menurut Thatcher, kelompok non-konformis yang tetap berani mengajukan alternative merupakan orang-orang yang secara konyol bersandar pada fantasi sosial yang semu. Satu-satunya tugas yang tersisa adalah memfasilitasi integrasi perekonomian nasional ke dalam pasar global baru. Baik pemerintah, partai politik maupun gerakan sosial yang lain tidak memiliki alternative lain selain "menyesuaikan" diri dengan ketidak terelakkannya globalisasi. Konsepsi Hizbut Tahrir mengenai tak terelakkannya globalisasi terletak pada peran pemimpin atau khilafah. Dengan keberadaan khilafah, maka peran negara tidak akan luntur dalam suatu system pemerintahan. Negara akan tetap menjadi katalisator bagi berbagai hal baru yang masuk. Dengan keberadaan negara, proses globalisasi akan menjadi opsi, bukan keniscayaan. Hizbut Tahrir juga memilki pandangan alternative tentang pola hubungan dalam proses globalisasi. Saat pola konvensional memandang pola relasi dalam globalisasi adalah antara negara core dan periphery, yang secara spesifik menjelaskan pola ketergantungan antara negara berkembang dan negara dunia ketiga, Hizbut Tahrir melihat fenomena ini lewat kacamata sebaliknya. Dalam konsepsi globalisasi Hizbut Tahrir, terdapat fenomena kolonialisasi terbalik. Dimana justru negara-negara dunia ketiga yang mempengaruhi perkembangan di negara maju. Ini dapat terjadi sebab negara maju sesungguhnya amat tergantung kepada negara berkembang dalam hal kesediaan faktor produksi. Secara tidak langsung, proses globalisasi merupakan sebuah proses kolonialisasi baru yang berubah haluan. Dari kolonialisasi negara core pada negara periphery, menjadi ketergantungan negara core pada negara periphery. Ini mematahkan anggapan bahwa proses globalisasi merupakan sebuah system yang tak dapat berbalik.

Ide alternatif Hizbut Tahrir yang paling berseberangan dengan paham globalisme adalah konsepsi mengenai demokrasi. Klaim globalis didasarkan pada pernyataan neoliberal bahwa pasar bebas dan demokrasi adalah istilah yang sinonim. Pasar bebas membutuhkan demokrasi untuk dapat berjalan. Begitu pula sebaliknya, kematangan sebuah demokrasi juga kerap dikaitkan dengan adanya pasar bebas dalam system tersebut. Karena ditegaskan berulang-ulang sebagai nalar yang sehat, kesesuaian diantara dua konsep ini acap kali menjadi tidak terbantahkan dalam wacana publik. Francis Fukuyama misalnya, menekankan pada korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi suatu negara dengan keberhasilan demokrasi. Kendati globalisasi dan perkembangan kapital tidak secara otomatis melahirkan demokrasi, namun tingkat perkembangan ekonomi yang dihasilkan globalisasi sangat kondusif bagi terciptanya masyarakat sipil dan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah yang kuat dan struktur masyarakat inilah yang akan mendorong munculnya demokrasi.[6] Salah satu cirri dasar demokrasi yang paling mudah dikenali adalah terbukanya kesempatan untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Inilah yang menjadi poin pertentangan antara kamum globalis dan Hizbut Tahrir. Bagi Hizbut Tahrir, system demokrasi merupakan sebuah system yang keliru. Sebab dalam system ini kewenangan sepenihnya diletakkan di tangan rakyat. Hak untuk memilih presiden dan wakil, menetapkan legislasi bergantung pada kehendak rakyat. Padahal dalam aturan Islam, sesuai yang tercantum pada surat At Taubah ayat 31, kewenangan menciptakan hulum dan memilih pemimpin mutlak merupakan kewenangan Allah. Secara singkat. Hizbu Tahrir menganggap demokrasi sebagai system yang kufur, karena memindahkan kewenangan mutlak yang seharusnya hanya dimiliki oleh Tuhan ke tangan rakyat. Hizbut Tahrir menawarkan alternative sebagai pengganti system demokrasi ini. Penawaran Hizbut Tahrir t adalah sebuah system yang bernama "khilafah". System kekhilafahan adalah system pemerintahan yang bertumpu pada Al Quran dan Al Hadits. Kedaulatan akan berada di tangan khalifah, yaitu seorang pemimpin yang dipilih oleh umat melalui proses bai'at (penunjukkan). Khalifah lah yang akan memutuskan jalannya pemerintahan.

Meski memiliki pandangan yang berseberangan terhadap lima klaim utama globalisme, bukan berarti Hizbut Tahrir benar-benar bebas dari proses ini. Dalam kenyataannnya ia tetap memanfaatkan istrumen-instrumen globalisasi untuk mengembangkan diri. Keberhasilan Hizbut Tahrir yang paling kentara adalah organisasi ini berhasil mengupayakan bergabungnya banyak orang di luar komunitasnya sendiri, sehingga gerakan ini menjadi semakin massif. Keberhasilan ini tidak dapat dipisahkan dari mahirnya Hizbut Tahrir menggunakan instrument globalisasi, salah satunya teknologi. Sebagai sebuah gerakan yang berbasis pada pengorganisasian di level bawah (grasroot level), ketersediaan informasi menjadi amat penting. Hizbut Tahrir memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk menyampaikan informasi dari organisasi kepada calon anggota. Selain lewat pendekatan personal, dakwah Hizbut Tahrir juga dilakukan lewat berbagai media teknologi informasi. Layaknya web, pemberian e-book, dan jaringan televisi global. Dilihat dari yang dilakukan Hizbut Tahrir, mungkin sekilas organisasi ini tampak sebagai sebuah organisasi anti-globalis. Sebab mereka menentang seluruh klaim utama globalisme, dan berupaya menciptakan dunia baru dengan system alternative yang mereka miliki. Hizbut Tahrir sering digolongkan sebagai organisasi fundamentalis, yang ingin memurnikan kembali ajaran-ajaran Islam. Namun, perlawanan Hizbut Tahrir terhadap globalisasi tidak akan mungkin terjadi bila organisasi ini tidak mengakui bahwa proses globalisasi benar-benar nyata adanya. Perlawanan Hizbut Tahrir menjadi bukti bahwa mereka menyadari bahwa proses globalisasi memang sedang berlangsung. Sehingga diperlukan berbagai strategi untuk menghadapinya.

Kesadaran Hizbut Tahrir terhadap terjadinya proses globalisasi dapat membawa kita ke kesimpulan bahwa organisasi ini merupakan kombinasi antara pandangan kelompok hiper globalis dan anti globalis. Hizbut Tahrir mengadopsi banyak pendapat kaum hiper globalis sebagai argument dasar pergerakan mereka. Namun, pergerakan yang mereka lakukan lebih banyak mengarah pada tujuan melawan globalisasi. Seperti yang diungkapkan Giddens dalam karyanya Runawaw World, organisasi fundamentalis seperti Hizbut Tahrir sebenarnya tak lebih dari sebuah anak globalisasi. Fundamentalisme adalah anak globalisasi. Fundamentalisme menanggapi dan memanfaatkan globalisasi. Kelompok fundamentalis hampir di manapun menggunakan teknologi komunikasi baru secara luas. Fundamentalisme bukan sekedar antititesis modernitas yang mengglobal. Melainkan sebuah gerakan mempertanyakan apakah manfaat dari system global yang terbentuk sekarang ini. Bukan sebuah gerakan yang menyanggah bukti bahwa proses globalisasi memang benar terjadi.

[1] Giddens, Anthony. Runaway World: Dunia yang Lepas Kendali. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2003. Hal xii

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun